Kehidupan yang Tidak Diperiksa Adalah Kehidupan yang Tidak Layak Dijalani!



"Kebijaksanaan sejati datang ke masing-masing diri kita saat kita menyadari betapa sedikit kita memahami tentang kehidupan, diri kita sendiri, dan dunia di sekitar kita."
— Socrates

"Seorang filsuf: yaitu orang yang selalu mengalami, melihat, mendengar, mencurigai, berharap dan membayangkan hal-hal luar biasa; yang terpesona oleh pikirannya sendiri seakan-akan pikiran itu berasal dari luar, dari atas, atau dari bawah; yang mungkin dirinya menjadi badai topan, yang berkeliaran dengan membawa kilat baru; seseorang yang tidak menyenangkan, mondar-mandir sambil meraung, menggerutu. Seorang filsuf: ya ampun, makhluk yang seringkali lari dari dirinya sendiri, takut pada dirinya sendiri, namun terlalu ingin tahu untuk tidak 'sampai pada dirinya sendiri'..."
— Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil: Aforisme 292


Aku pikir ada satu kesamaan nasib antara Nietzsche dan Socrates: kematian yang dihadapi secara tragis.

Socrates, ia adalah pria tua yang senang berkeliling di keramaian kota Athena. Setiap hari ia mengajak orang berdiskusi, di pasar, di taman, di jalan-jalan, dan selalu cerewet mengajukan pertanyaan, yang sengaja ia lakukan—untuk menguji kedalaman sekaligus kemerdekaan berpikir. Itulah apa yang sekarang kita kenal dengan 'berfilsafat'. Kita tahu akibat kesehariannya ini ia dituduh sesat oleh sebagian masyarakat, dan berujung pada eksekusi mati. Meskipun pengadilan menawarkan opsi kepada Socrates untuk eksil ke kota lain, tetapi dengan keteguhan hati ia memilih menenggak racun cemara. Ia memilih mati menjadi martir, demi kebenaran dan kehendak bebasnya sendiri.

Nietzsche, banyak orang bilang ia adalah palu godam di masanya, ia adalah pemberontak, ia adalah suara ganjil, bahkan banyak pula yang menyebutnya dinamit. Bagaimana tidak, semasa hidupnya Nietzsche menguliti borok-borok di dalam agama, pengetahuan, seni, bahasa dan bermacam bidang lainnya. Ia berteriak sinis pada institusi kekuasaan, ia mendobrak segala kebiasaan umum masyarakat. Dan, hidupnya berujung pada kegilaan, sebelum akhirnya mati tanpa sempat menikmati kemasyhuran.

**********

Peradaban sudah bergerak jauh dibandingkan era Nietzsche, apalagi Socrates. Tentu banyak sekali perubahan besar, yang mungkin oleh masyarakat terdahulu tak sempat diimajinasikan. Hari ini, ada negara, ada pemerintah, ada kebijakan politik, ada tatanan masyarakat yang terlihat lebih bebas dan demokratis, namun sesungguhnya amat bersifat koersif.

Hidup semakin banyak alternatif, yang artinya semakin banyak pula kebutuhan-kebutuhan yang tidak dibutuhkan.

Pelajaran dari kedua filsuf tersebut, yang rentang masa hidupnya terpaut ratusan abad, sesungguhnya masih relevan untuk digunakan menghantam kehidupan harian kita di masa kini. Sebab rutinitas peradaban modern agaknya telah membuat kita melupakan pertanyaan-pertanyaan krusial mengenai bagaimana manusia itu sebenarnya.

Seandainya kita tahu apa yang kita lakukan?
Seandainya kita tahu apa yang kita inginkan?

Seorang kawan, sejak kecil ingin menjadi musisi tapi tidak pernah bisa mewujudkannya karena tidak diizinkan orang tua. Seorang kawan lagi, bermimpi menjadi dokter tapi ternyata berakhir menjadi buruh pabrik karena tidak punya biaya untuk sekolah. Seorang kawan lainnya, berpotensi menjadi pelukis tapi sang calon istri menuntutnya berkarir sebagai pegawai kantoran. Aku sendiri, ingin menjadi penyair, memang ada duitnya?

Banyak sekali kerumitan, banyak sekali hambatan. Seolah-olah kita tak tahu apa yang sesungguhnya benar-benar ingin kita lakukan untuk diri kita sendiri, sebagai diri kita sendiri. Terkadang kita melakukan segala aktivitas hanya karena orang lain telah melakukannya, atau karena orang lain ingin kita melakukannya. Kita tak lagi tahu diri kita sendiri, apa keinginan kita dan siapa sesungguhnya kita.

Jika sudah seperti itu, seberapa banyak kebahagiaan yang bisa kita rengkuh?

Semuanya menjadi serba seragam, kita kehilangan keunikan atas diri kita sendiri. Seolah-olah ada begitu banyak komando yang datang dari luar untuk kita taati. Tak lagi bebas mengekspresikan diri, tak lagi merdeka untuk berlari kesana kemari, serupa domba yang digembalakan.

Apa yang Lebih Menyebalkan dari Intelektual yang Bebal?



"Mahasiswa menjadi menjijikkan bukan hanya karena kelemahan mereka, tetapi juga karena kepuasan diri mereka sendiri dan kecenderungan mereka yang tak sehat untuk berkubang dalam alienasi, berharap hal tersebut akan menjadi menarik di tengah ketidakmenarikan mereka. Mahasiswa adalah budak-budak yang sabar, dimana semakin banyak rantai otoritas yang mengikat maka semakin mereka merasa bebas. Seperti halnya keluarga baru mereka, universitas. Mereka menganggap diri mereka sebagai kalangan spesialis yang paling independen, padahal nyatanya, mereka secara langsung dan sukarela bersikap patuh pada dua sistem otoritas sosial yang terkuat: keluarga dan negara. Mahasiswa adalah anak yang patuh dan penurut. Mengikuti logika anak penurut, mereka membagi segala nilai dan mistifikasi sistem serta mengonsentrasikannya ke dalam diri mereka sendiri."

Cuplikan di atas berasal dari pamflet gerombolan Situationist International dan mahasiswa radikal University of Strasbourg berjudul 'On the Poverty of Student Life', diedarkan tahun 1966 yang kemudian menjadi salah satu pemicu Pemberontakan Paris '68.

Ya!

'Mahasiswa' adalah status kebanggaan sebab konon katanya mengemban tugas sebagai pembawa perubahan. Mitos? Tentu saja. Tidak perlu kita merasa berdosa untuk menyebut sesungguhnya kampus adalah refleksi atas apa yang terjadi di luar sana. Sehingga kita tidak perlu heran pula melihat masyarakat masih memisahkan politik dari kehidupan, padahal 'politik' adalah pemikiran sekaligus aksi yang kita jalani sehari-hari, tetapi kemudian direduksi menjadi sekadar berpartisipasi dalam pemilihan umum. Karena kalangan yang katanya paling intelektual inipun juga tak pernah menyadari seberapa pentingnya peran politis mereka. Agaknya mahasiswa juga telanjur lupa ingatan bahwa selepas dari kampus dengan segera mereka akan bergabung bersama kelas-kelas yang tertindas: menjadi sekrup kapital, dimapankan lalu dikebiri.

Vice versa!

Celoteh Ini Senjata Kami!


 "Kita ada di tengah puing, kita mulai membangun habitat baru kecil-kecilan, untuk mendapatkan harapan baru sedikit-sedikit."
D.H. Lawrence, Lady Chatterley's Lover

Kemarin malam, saya iseng membongkar album foto di komputer. Dan, saya menemukan foto anak-anak ini. Mereka adalah anak-anak yang kampungnya terkena dampak Lumpur Lapindo. Mereka bergabung dalam Sanggar Al-Faz, yang berlokasi di Desa Besuki, tepatnya di rumah Cak Irsyad. Foto tersebut saya ambil pada tahun 2011, saat ada perayaan "Hari Anak Nasional". Kebetulan saya dan beberapa teman ikut berpartisipasi disana untuk workshop sablon cukil (woodcut) dan sekadar membantu apapun sebisanya. 

Acara itu mengambil jargon: celoteh ini senjata kami! 



Senjata, sebuah alat untuk menyerang, melukai, menikam, atau apapun yang bersifat melumpuhkan lawan. Senjata mengisyaratkan banyak kepentingan. Dan seringkali nampak menyeramkan bahkan di saat pemegangnya adalah orang-orang baik yang ingin membela diri. Namun hari itu, di tangan sekumpulan anak-anak korban Lumpur Lapindo, "senjata" bertransformasi menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. Sebab ia tampil sebagai sesuatu yang riang, melalui celoteh anak-anak yang tak putus harapan meski hari-hari dan masa depan mereka tampak suram. 

Mungkin di saat seperti inilah kredo "menjadi tua itu membosankan" bakal terdengar lebih galak. Anak-anak ini seperti menyuntikkan semangat, kekuatan dan keyakinan bagi orang-orang dewasa yang mulai tertatih, anak-anak ini menciptakan keceriaan di tengah kehancuran. Bahkan lebih daripada itu, celoteh anak-anak ini seakan menampar keangkuhan masyarakat modern yang melupakan gejolak-gejolak sosial di sekitar kesehariannya. Sekumpulan massa yang cuma jadi penonton.

Kita begitu gencar menyuarakan keprihatinan dan kecaman ketika rakyat Palestina digempur militer Israel. Bantuan mengalir dari berbagai penjuru, bahkan ada orang-orang yang siap dikirim untuk mati syahid disana. Apa yang terjadi di Palestina selama bertahun-tahun memang mengerikan, tragedi kemanusiaan yang layak menerima solidaritas internasional. Namun ironis, situasi pelik di Porong yang sudah akut ini justru perlahan mulai terlupakan. Kita seakan mati kutu menghadapi permasalahan di lingkungan kita sendiri, alih-alih turun tangan, kita hanya mampu menitipkan umpatan ketika menghadapi kemacetan di sekitar area terdampak Lumpur Lapindo.



Apakah anak-anak ini telah merasakan momen apokaliptik sebelum waktunya? Bisa jadi. Di saat impian-impian belum tuntas mereka tegakkan, seketika diruntuhkan, mereka dipaksa untuk kuat menghadapi ancaman korporasi yang bermain kotor di kampung halamannya. Mereka kehilangan rumah, kawan dan keluarga. Beberapa hari ini kita turut prihatin melihat warga Jakarta kelimpungan menghadapi banjir. Kita menyaksikan bagaimana Jakarta, kata seorang kawan, sedang membunuh dirinya sendiri pelan-pelan. Sementara nasib anak-anak ini lebih di ujung tanduk, 6 tahun ditipu dan ditelantarkan, bergelut dengan kubangan lumpur yang perlahan-lahan menggerogoti tanah bermain mereka seperti jamur raksasa.

Ada pesan yang cukup termasyhur tentang keyakinan akan perubahan. Bahwa masa depan belumlah tertulis. Sebab pena ada di genggaman setiap orang, tergantung pada kita untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih baik, yang dibangun dari kebebasan dan solidaritas.



Sama sekali bukan perkara susah untuk merasakan betapa mirisnya hari-hari yang mereka lalui. Sesederhana ketika kotak makanmu dicuri orang lain. Sesederhana ketika mobilmu lecet karena diserempet orang lain. Sesederhana ketika tempat dudukmu di kereta direbut orang lain. Sesederhana ketika antrianmu di bioskop diserobot orang lain.

Bagaimana perasaanmu?

The Song of the Bird.


Saya baru saja menamatkan sebuah buku yang judulnya baru saja kamu baca, karangan Anthony de Mello SJ. Dari sekian puluh kisah di dalamnya, ada beberapa kisah yang ingin saya bagi kepadamu.


**********

Kisah Pertama  - Diogenes

Diogenes, seorang filsuf, makan ubi sebagai santap malamnya. Hal itu dilihat oleh rekannya, filsuf Aristippos, yang hidup enak dan mewah karena menjilat raja.

Aristippos berkata:
"Kalau engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi itu."

Jawab Diogenes:
"Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja."


Kisah Kedua - Perumpamaan Tentang Hidup Modern

Binatang-binatang mengadakan sidang dan mulai mengeluh, bahwa manusia selalu mengambil apa saja dari mereka. 

"Mereka mengambil susuku", kata lembu.
"Mereka mengambil telurku", kata ayam.
"Mereka mengambil dagingku", kata babi.
"Mereka memburuku untuk mengambil minyakku", kata ikan paus.

Pada akhirnya siput berbicara: 
"Aku mempunyai sesuatu yang mereka inginkan lebih daripada segala sesuatu. Mereka tentu akan merampasnya dariku seandainya dapat. Sebab aku mempunyai waktu."


Kisah Ketiga - Nelayan yang Puas

Usahawan kaya dari kota terkejut menjumpai nelayan di pantai sedang berbaring bermalas-malasan di samping perahunya, sambil mengisap rokok. 

"Mengapa engkau tidak pergi menangkap ikan?" tanya usahawan itu. 


"Karena ikan yang kutangkap telah menghasilkan cukup uang untuk makan hari ini", jawab nelayan. 


"Mengapa tidak kau tangkap lebih banyak lagi daripada yang kau perlukan?" tanya usahawan lagi. 


"Untuk apa?" nelayan balas bertanya. 


"Engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak", jawabnya. "Dengan uang itu engkau dapat membeli mesin motor, sehingga engkau dapat melaut lebih jauh dan menangkap ikan lebih banyak. Kemudian engkau mempunyai cukup banyak uang untuk membeli pukat nilon. Itu akan menghasilkan ikan lebih banyak lagi, jadi juga uang lebih banyak lagi. Nah, segera uangmu cukup untuk membeli dua kapal... bahkan mungkin sejumlah kapal. Lalu kau pun akan menjadi kaya seperti aku." 


"Selanjutnya aku mesti berbuat apa?" tanya si nelayan. 


"Selanjutnya kau bisa beristirahat dan menikmati hidup", jawab si usahawan. 


"Menurut pendapatmu, sekarang ini aku sedang berbuat apa?" kata si nelayan puas.

**********

Bagaimana? Sudah kamu baca cerita-cerita itu? Bukankah ketiganya membicarakan satu hal yang sama. Menurutmu apa?

Pemikiran, Kata-kata dan Aksi Langsung!


"Mereka mengabaikan nyanyian dan barisan demonstrasi kita, tapi dapatkah mereka mengabaikan batu dan bata? Inilah saatnya untuk melakukan sesuatu lebih daripada sekadar bicara saat mereka telah mengabaikan aksi demonstrasi damai!"
— Aus Rotten, They Ignore Peaceful Protest

Mimpi dan khayalan merupakan pupuk dari perubahan sosial. Dunia memang berubah; dan akan terus berubah karena orang-orang membuatnya berubah. Kunci menuju keberhasilan suatu perubahan adalah solidaritas; yang dapat berarti apapun dari sekadar menjadi tempat curhat hingga memberikan amunisi. Solidaritas adalah sesuatu yang kuat, komunitas yang bersatu, menarik garis dari masa lalu tentang berbagi pengalaman dan mengalami kesulitan, memapankan jaringan kontak dari berbagai individu ataupun organisasi dan mendukung semua tindakan melawan ketidakadilan dan penindasan. Sejarah ada di sisi kita; kita bisa dan akan mempunyai harapan untuk menang.

Aksi langsung (direct action) adalah berarti juga memilih pola independen dengan secara langsung menghadapi masalah yang ada di hadapan kita tanpa harus melemparkan masalah pada orang lain ataupun meminta ijin terlebih dahulu dari politisi, birokrat atau semua pecundang yang duduk di kursi kekuasaan. Ini juga berarti berjuang untuk mengontrol hidup kita sendiri dan berusaha untuk secara langsung memberikan efek pada dunia di sekeliling kita, mengambil tanggung jawab untuk setiap aksi yang kita lakukan dan definisikan sendiri.

Aksi langsung telah menjadi bagian integral dari resistensi semenjak manusia ada. Iklim politik pemerintahan melihat aksi langsung sebagai sebuah bentuk taktik protes yang cepat meraih popularitas, dan saat ini pemerintah semakin mahir dalam menangani para pembangkang. Negara dipersenjatai penuh, diproteksi dan telah terbukti berhasil mengubur siapapun yang tidak setuju dengan keputusan mereka. Lihat pula keberhasilan mereka dalam memutarbalikan fakta, seperti selalu menyalahkan kekerasan, termasuk penghancuran properti, kepada diri kita. Dalam tatanan masyarakat modern, dijalankan sebuah sistem dimana segala bentuk protes dan ketidaksetujuan harus ditampung melalui representatif negara dahulu sebelum diperdengarkan. Dan hasil yang selalu kita dapatkan apabila menyampaikan keluhan kita melalui representatif negara hanyalah satu: aksi demonstrasi di jalanan yang kita organisir diabaikan, tidak ada media massa yang akan meliput dan menaikkan isu yang kita bawa, dan barisan polisi maupun militer telah siap mengganyang kita.

Demokrasi telah membuat kekuatan perubahan terlepas dari tangan kita. Suara protes secara hati-hati dikontrol: semua jalan diserahkan pada para birokrat dan politisi untuk menentukan mana yang benar dan salah. Kekuatan kita semakin tereduksi dan semua yang kita harapkan boleh kita utarakan hanya melalui kotak pemilihan suara yang disodorkan kepada kita setiap lima tahun sekali.

Kita, yang tinggal di negara miskin (definisi negara berkembang hanyalah perhalusan dari kata negara miskin) hidup seperti kecoa dan tikus got. Sistem yang diterapkan oleh kapitalisme telah sedemikian kuat. Kita didorong untuk mengonsumsi apapun yang ditawarkan sekeliling kita. Jadi apa yang perlu diprotes? Diri kita sendiri. Memang menyedihkan saat menyadari bahwa ancaman terbesar yang dihadapi planet ini adalah spesies manusia.

Pengeksploitasian manusia, binatang dan sumber daya alam masih terjadi di seluruh dunia, alasan tindakan tersebut adalah diperlukannya profit demi membiayai gaya hidup mewah kita sehari-hari. Lebih dari 80% populasi dunia saat ini tinggal dalam kondisi kemiskinan yang parah dan semuanya bermimpi untuk hidup mewah, namun mereka tak mampu dan bumi tidak memiliki cukup sumber daya alam untuk mendukung impian ini. Faktanya, sumber daya alam bumi dengan cepat dihabiskan hanya untuk mendukung gaya hidup mewah segelintir manusia yang tinggal di negara dunia pertama, para pemerintah serta konglomerat di seluruh dunia. Selain segelintir manusia tersebut? Semua hidup dalam dunia fantasi yang haus untuk mengonsumsi. Kita hidup di dunia yang memiliki begitu banyak produk, tetapi harga yang harus dibayar adalah pembantaian massal melalui pemiskinan.

Saat berlangsung protes anti-WTO beberapa waktu lalu, seorang petani asal Karnataka, India, mengatakan,

"Kami tidak ingin amal dan belas kasihmu semua. Mereka yang tinggal di utara seharusnya dapat mengerti perjuangan kami dan menyadari bahwa ini adalah juga bagian dari hidup mereka. Dimana-mana yang kaya selalu bertambah kaya, yang miskin semakin miskin dan lingkungan semakin mendekati kiamat. Tidak peduli dimana kita tinggal, di belahan bumi utara atau selatan, kita telah menghadapi masa depan yang sama. Globalisasi seharusnya berarti bahwa kita ingin mengglobalkan kemakmuran masyarakat dunia, bukan mengglobalkan bisnis. Karena hidup bukanlah sebuah bisnis!"

Negara dunia ketiga hidup dari sampah, limbah dan sekarat atas kerakusan mereka yang hidup di negara dunia pertama. Perjuangan yang dilakukan oleh kita yang hidup di negara dunia ketiga bukanlah sekadar perjuangan melawan dominasi korporasi multinasional ataupun rezim diktator dan militer, tetapi juga perjuangan untuk bertahan hidup. Gerakan resistensi anti-globalisasi di India, Afrika dan Amerika Latin sangat besar dan itu diinisiasikan demi mengambil alih kontrol atas diri mereka sendiri. Apakah kita bisa menyamakan gerakan tersebut dengan gerakan mereka yang ada di negara dunia pertama? Di Meksiko, pada tahun baru 1994, kelompok Zapatista membebaskan daerah Chiapas dan menjadikannya daerah otonom bagi kaum Indian agar terlepas dari sistem eksploitatif yang dipaksakan oleh para kapital dari negara dunia pertama kepada mereka. Perempuan dan anak-anak, telah mengangkat senjata untuk melindungi diri mereka dari dominasi kulit putih yang tinggal di negara dunia pertama.

"Dunia kita eksis hanya sebatas sejauh telepon kita dapat berhubungan, mobil kita dapat lalui, modem kita dapat koneksi, dan televisi kita dapat tayangkan."
— His Hero is Gone

Zombi-zombi konsumen itu adalah dirimu dan diriku, adalah sesuatu yang sangat vital dalam memperkuat ataupun memperlemah mata rantai dari eksploitasi global ini. Kita sangatlah rapuh, tapi kita dapat mengubah pola pikir kita, kita dapat mengikuti ataupun menolak budaya konsumtif; jaringan swakelola ini adalah milik kita, kita mempunyai pilihan disini, kita dapat mengatakan ya ataupun tidak, kita dapat memutuskan mata rantai ini, kita dapat menghancurkan mata rantai ini walaupun hanya sebagian kecilnya, tapi kita mampu. Sebab kata-kata tanpa aksi adalah bohong.

"Ini adalah ajakan untuk menghentikan dan berpikir tentang apa yang para penjual katakan tentangmu, dan dunia dimana selama ini kamu hidup di dalamnya. Sebab kamu adalah apa yang kamu konsumsi."
— A//Political, You are What You Consume

Boikot adalah menolak untuk berhubungan atau melakukan pertukaran dalam usaha untuk melemahkan atau menghancurkan sesuatu. Sangat simpel.

Gunakan kekuatanmu, jangan beli kebohongan dan produk mereka, cari alternatifnya. Jangan pernah percaya kepada para kapital yang selalu berpura-pura peduli kepada konsumen (seperti McDonald's dan Body Shop). Mesin yang dijalankan kapitalisme berputar terus menerus sedangkan untuk menghentikannya bukan pada masalah hasil produksinya tetapi mentalitas dibalik produk tersebutlah yang harus dihancurkan. Untuk membuat perubahan nyata pada gaya hidup kita yang konsumtif berarti juga membuka ruang-ruang untuk memikirkan kembali seluruh hidup kita, tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita bereaksi, berkomunikasi, hubungan sosial kita, kerja kita, berapa banyak kebohongan dan kepalsuan yang telah kita ambil. Ini adalah sebuah revolusi dalam diri kita sendiri; ini adalah tentang pengambilalihan kontrol, mengklaim kembali kekuatan sebagai seorang individu. Ini adalah tongkat penyangga bagi resistensi kita melawan kapitalisme.

"Semakin banyak kamu mengonsumsi, semakin berkurang kamu hidup."
— Angry Brigade

Kita perlu bergerak lebih jauh daripada hanya sekadar mengonsumsi produk ramah lingkungan seperti yang dikampanyekan oleh Greenpeace ataupun grup-grup pencinta lingkungan sebagai alternatif bagi konsumen, kita harus melihat kepada sistem kapitalisme dan efek globalisasi sebagai akar dari banyak sekali permasalahan di dunia, mulai dari kepunahan spesies, eksploitasi pekerja hingga perang. Korporasi multinasional adalah wajah buruk dari ketiadaan batas dari operasi kapitalisme. Mereka bebas menjelajahi dunia demi penyedotan sumber daya alam, pemanfaatan buruh murah dan manipulasi hukum perlindungan lingkungan. Perjuangan demi hidup yang menyenangkan, demi upah yang mencukupi, kesehatan dan keamanan masih sangat jauh dari selesai. Kita juga harus berpikir secara global: mengapa harus membuat sepatu di Amerika di saat Nike dapat menggunakan buruh-buruh upah rendah di Indonesia dan melipatgandakan profit bagi perusahaan? Ekonomi mereka sudah sangat mengglobal, begitu juga seharusnya resistensi kita.

Pemerintah tidak akan pernah melakukan apapun dalam berhadapan dengan perkembangan korporasi. Ini semua terserah kepada kita sendiri untuk menghentikan lingkaran roda eksploitasi ini. Kita harus melenyapkannya dengan diri kita sendiri, memboikot sistem mereka yang tidak adil dan tidak merata. Ini saatnya untuk bergerak jauh melampaui sekadar produk dari korporasi. Perhatikan lagi semua kejadian yang ada di sekitar kita, hal tersebut dapat membantu kita fokus pada kemarahan kita dan begitu banyak isu yang dibawa oleh kelompok-kelompok faksional. Aksi anti-WTO N30 dan MayDay 2000 telah memperlihatkan kepada kita semua bagaimana berbagai macam organisasi, perserikatan, aktivis HAM, environmentalis, beraksi bersama di jalanan dalam menyerang musuh bersama mereka yang sesungguhnya: kapitalisme.

Tapi ingat, kapitalisme adalah juga mengenai diri kita sendiri dan bagaimana cara kita bersosialisasi dengan individu lainnya. Kapitalisme jauh lebih besar dan kuat daripada sekadar taraf level Nike ataupun McDonald's sebagai contohnya, tetapi kapitalisme juga berarti masalah Dunia Baru, kios-kios rokok besar atau kecil, kapitalisme adalah tentang bagaimana para pekerja menjual diri mereka dalam sebuah hubungan yang eksploitatif.

"Tetaplah jadi parasit, atau jadilah pejuang bumi."
— Kapten Paul Watson, Sea Shepherd

Segala sesuatunya bermula dari diri kita sendiri. Jika kamu sedang berlari untuk menyelamatkan hidupmu dan seorang polisi berteriak "Stop!", akankah kamu berhenti? Pemerintah merepresentasikan kekuatan uang, bukan kekuatan rakyat, bukan kekuatan bumi dan selama ini kekuatan itulah yang selalu kita dukung dan kita beri kekuatan lebih. Pemerintah adalah satu-satunya sumber yang tak dapat dipercaya untuk memberikan keadilan kepada rakyatnya kecuali atas kepentingan pribadinya sendiri. Kita tidak perlu merasa berhutang pada pemerintah, mereka menjadi makmur atas pajak yang kita bayar (dengan dibawah ancaman). Marahlah, karena ini dunia kita!

Berpikirlah tentang flora dan fauna sebanyak 20.000 spesies yang terancam punah setiap tahunnya; anak-anak kecil di Cina yang harus bekerja keras untuk membuat mainan yang kita utak-atik setiap harinya; buruh-buruh yang kesakitan dan kelelahan memproduksi sepatu yang kita kenakan. Garis batas antara legal dan ilegal harus kita hapuskan. Saat ketidakadilan menjadi sebuah hukum, maka resistensi menjadi tugas kita. Sebab kita mempunyai kewajiban untuk melindungi bumi yang telah menghidupi kita beserta generasi mendatang. Penghancuran alam adalah sebuah kejahatan yang tak pernah tercatat sepanjang sejarah manusia, dan hal inilah yang menuntut sebuah gerakan resistensi dari diri kita semua. Kita tidak perlu menunggu krisis kapitalisme, yang kita tahu bahwa hal tersebut sudah lewat dan entah kapan akan datang lagi. Tidak ada waktu untuk mengabdikan diri kita kepada sistem, tak ada waktu untuk memikirkan reformasi, karena setiap waktu yang kita miliki selalu tercuri oleh mereka setiap ada kemajuan ekonomi. Kita harus mengklaim kembali hidup kita, bukan sekadar mengganti produk yang kita gunakan. Kuatkan dirimu, berhentilah menjadi bagian dari sistem eksploitatif ini dan fokuskan kemarahanmu!

Angry Brigade, RAF, 1st Of May, IRA, Weathermen, Black September, Dutch Provo dan lain sebagainya, semuanya melakukan pengeboman dan kampanye teror selama 1970-an. ALF mengampanyekan pembebasan binatang, mereka adalah sedikit dari contoh dimana agenda operasionalnya adalah bentuk aksi langsung dan pemerintah melihatnya sebagai aksi kriminalitas; tetapi hal-hal tersebut pulalah yang menjadi fondasi bagi para aktivis di seluruh dunia untuk mulai melakukan aksi-aksi langsung apapun bentuknya. Grup-grup dengan isu tunggal seperti environmentalis, anti-rasis, serikat buruh, yang secara tradisional bergerak seperti kelompok reformis, saat ini sudah mulai menerapkan politik revolusioner dalam pola gerakannya. Sayangnya, di Indonesia hal ini belum biasa karena politik dan revolusi masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat tabu dan hanya bagian dari rutinitas para politisi dan birokrat.

"Banyak aktivis yang saat ini menciptakan konektivitas antara perjuangannya dengan mereka yang berada di komunitas kelas pekerja."
— Jurnal anarkis Do Or Die #6

Dan itu semuanya yang seharusnya dapat kita lakukan, saat semua sibuk berpikir soal penyusunan undang-undang, atau memikirkan soal mencari pemerintah yang lebih baik; globalisasi telah melanda hampir semua gerakan protes. Gambaran yang besar beserta solusinya sekarang telah tampak sangat jelas. Ribuan kelompok anti-kapitalis telah mulai berkembang dimana-mana di muka bumi ini. Lalu, apa yang mereka lakukan?

Mereka menandatangani petisi dan pergi menuju aksi-aksi demonstrasi, mereka berpikir mengenai gaya hidup mereka, aksi mereka dan efeknya; sebagian lainnya menghancurkan mesin-mesin milik korporasi, menghancurkan properti; mereka mempertanyakan segalanya, mereka membangun alternatifnya, mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri, mereka menghapus batasan yang ditetapkan pemerintah, mereka menolak pemerintah dan beraksi langsung untuk mengubah kondisi dunia tempat mereka tinggal. Pendeknya, mereka meresikokan segalanya demi kehidupan yang lebih layak.

Tanyakan pada dirimu sendiri, siapa audiens kita? Apa pesan kita? Apakah ini adalah taktik terbaik yang dapat kita lakukan saat ini? Apa tujuan kita? Dan akhirnya, sejauh mana kesiapan kita untuk melakukannya? Tetapi sebelum melancarkan aksi kita, selalu ingat bahwa kita juga perlu untuk mengubah diri kita sendiri, merombak pola pikir dan pola pandang kita serta cara kita bersosialisasi dalam hidup keseharian.

Segala macam aksi adalah valid, tetapi menciptakan aksimu sendiri adalah sebuah sebuah langkah radikal kecil menuju dunia yang berbeda. Tanpa visi ini, aksi langsungmenjadi tak berarti sama sekali. Jika kita hanya fokus pada aksinya saja maka kita akan terjebak ke dalam sebuah gerakan yang reaksioner dan tidak mendasar sama sekali, sebuah gerakan yang sama sekali kebingungan akan siapa yang harus dilawan. Visi ini sudah barang tentu: revolusi!

"Jangan pernah tergantung pada pemerintah atau institusi apapun untuk menciptakan perubahan. Semua perubahan sosial yang signifikan sepanjang sejarah manusia telah dilakukan oleh aksi-aksi individu."
— Margaret Mead

"Dunia ini sedang berada dalam masa-masa depresi, tetapi harapan dapat ditemukan dalam diri mereka yang bisa, berani dan beraksi."
— Dave Foreman

Seorang aktivis di Jakarta bertanya kepada manajer pemasaran dari Nestle tentang bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh kampanye boikot. Jawabannya adalah, "Tentu saja ada. Setiap seorang konsumen datang ke sebuah toko dan membuat keputusan untuk tidak membeli salah satu dari produk kami, hal itu sangat menyakitkan."

Lihat, kamu dapat menciptakan sebuah perubahan!

Tetapi sebagian juga berpendapat bahwa daripada kita mengampanyekan boikot, mengapa kita tidak mengampanyekan pencurian, perampokan atau pembajakan produk? Karena alangkah sulit untuk melepaskan diri dari kekangan dan jebakan sistem konsumtif ini. Memang kadang taktik-taktik tertentu tidak sesuai dengan diri maupun pola pandang kita. Tetapi itu semua terserah kepada dirimu dan diriku sendiri untuk memutuskan dan memilih taktik.

Penghancuran properti dan vandalisme, dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan dalam kacamata sistem ataupun moralis yang hipokrit. Mereka selalu mengampanyekan bahwa penghancuran properti hanya akan menyulut kekerasan negara sebagai reaksi terhadap tindakan tersebut. Kenapa? Karena properti adalah tulang punggung kapitalisme yang sangat lemah dan tak dapat mempertahankan dirinya sendiri; kapitalisme juga berawal dari kepemilikan alat produksi dan properti, mereka mendewakan properti. Dan itulah yang paling mudah kita serang. Jadi, hancurkan sehancur-hancurnya!

"Mereka khawatir dengan beberapa kaca jendela yang kami pecahkan. Seharusnya mereka datang dan melihat sendiri bagaimana berbagai macam kekerasan telah dilakukan kepada komunitas kami atas nama perdagangan bebas."
— Seorang aktivis Meksiko

Jadi, tunggu apalagi kawan?

Proyek Melawan Amnesia.


"The struggle of man against power
is the struggle of memory against forgetting."
— Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting

Ada momen-momen dimana hidup terasa sangat tak mungkin lagi dilanjutkan, karena seluruh impian serasa tak mungkin lagi dicapai. Seluruh impian gila tentang pemberontakan dan insurgensi telah menguap. Hasrat untuk menyerang tatanan peradaban modern hilang dalam kemandulannya, terbuka tetapi kosong. Seluruh obrolan lewat tengah malam yang penuh tawa serta rencana untuk melakukan berbagai petualangan mulai menjadi tampak naif dan hampa. Satu persatu mulai tiba pada kesimpulan bahwa tak ada yang berhasil diselesaikan setelah semua yang pernah dilalui: penghancuran dan penciptaan mulai tampak sama tanpa dapat menarik perhatian sama sekali. Satu persatu mulai menolak imajinasinya sendiri dan memilih kembali pada jebakan-jebakan lama yang dulu sempat ditinggalkan. Ide-ide banal tentang eksistensi mulai menjajah isi kepala sedikit demi sedikit.

Inilah sebuah titik dimana penderitaan yang dialami masyarakat modern telah benar-benar lengkap. Tatanan masyarakat saat ini memperkuat dirinya seraya secara berkesinambungan mendorong setiap individu untuk tenggelam dan melarut kemudian melenyap saat individu tersebut menyerah pada penderitaan ini. Individu tersebut mulai menerima batasan-batasan yang diajukan oleh masyarakat modern sebagai sesuatu yang memang patut diakui. Hasrat akan pencarian pengalaman baru ditransformasikan pada hasrat untuk mengulang-ulang kembali apa yang pernah terjadi. Individu tersebut mulai merasa bahwa ia tak memiliki apapun lagi untuk ditawarkan sebagai usaha penentangannya terhadap penyakit masyarakat modern, tak ada lagi yang dapat diberikan. Setiap ide yang berkelebat menjadi sebuah tatapan kosong. Gairah mulai menguap. Hasrat mulai dirasionalisasikan. Apa yang ditabukan tetap menjadi sesuatu yang tidak pantas dikuliti.

Momen puncak penderitaan ini tak menandai apapun selain sebuah kemenangan bagi amnesia. Meninggalkan sebuah hidup yang penuh petualangan merupakan sebuah penyerahan total dari individu yang melupakan seluruh pemberontakan yang telah lewat beserta segala hasrat pemberontakannya. Amnesia sangatlah esensial untuk membuat manusia lebih beradab; saat seseorang telah mengabaikan berbagai kemungkinan hidup (kekayaan momen di masa lampau, masa kini maupun masa datang), maka ia mulai terdomestifikasi.

Amnesia adalah kolonisasi ingatan. Seseorang dipaksa untuk melupakan segala bentuk pemberontakan dalam hidupnya. Pikiran-pikiran yang telah terkolonisasi akan sulit membayangkan sebuah pemberontakan total melawan tatanan apabila seluruh jejak ingatan tentang pemberontakannya di masa lalu telah dihapuskan. Segala sesuatu yang sederhana, sekalipun dari perilaku yang negatif, seperti mencolekkan jari tangan ke dalam botol selai hingga kejahatan yang dilakukan tengah malam, membuat kenangan sangat berarti bagi seorang individu; semakin hal-hal demikian dihapuskan maka momen-momen masa kini semakin tak berarti, seperti bunga yang kelopaknya terpotong sebelum ia sempat tumbuh dan berkembang. Seorang individu dapat merasakan betapa ia tak bebas, karena endapan kebebasan yang pernah ia rasakan di masa lalu masih berada di memorinya.

Saat ditanya bagaimana individu itu tahu bahwa kebebasan adalah sesuatu yang mungkin dicapai, para pemberontak biasanya mengambil contoh dari apa yang pernah terjadi di masa lalu. Para pemberontak mengingat momen-momen penting mereka, gerakan-gerakan masa lalu mereka dan juga kenangan yang menandai keberhasilan mereka di masa lalu untuk terlepas dari cekikan orde dominan.

Seorang individu tahu artinya kebebasan karena ia pernah mengalami sensasi kebebasan itu sendiri; rasa surgawi yang dirasakan sepenuh hati. Untuk melupakan hal ini adalah sebuah kefatalan. Amnesia hanya dapat diperangi dengan secara konstan menggali kembali memori, dengan menjadi lebih sadar akan apa kesalahan yang pernah dilakukan, dan apa keberhasilan yang pernah dicapai.

Tidak! Ini bukan berarti kita akan membiarkan diri kita larut dengan romantisme masa lalu. 

Seorang pemberontak memang sudah seharusnya siap kembali pada masa lalu, untuk kembali pada masa kini dengan seikat bunga di satu tangan, dan sebuah pistol di tangan lainnya!

Panjang Umur Para Pembangkang!

kita adalah roda dan kusir
yang menggerakkan kereta kuda
bukan mereka,
para bos yang duduk di kursi penumpang

kita adalah pion kayu
yang tiap hari berkeringat di atas papan catur niaga
bukan mereka,
ribuan korporasi yang hanya berwujud nama

                tolak!

sebab ketakutan
mereka menyusun aturan

                membangkang!

sebab tanpa kepatuhan
mereka tidak akan punya kekuasaan

Gresik. 28 Agustus 2011

Diam (atau) Ledakkan!

                "Sebab kejahatan merajalela bukan karena ulah para penjahat,
                tapi juga karena kebisuan orang baik."
                -- Martin Luther King Jr.


                ada perih dan luka dalam tiap sayatan
                bahkan banjir darah bercampur gelak tawa

namun sungguh tak perlu ditakuti
sebab sayatan itu selalu bernama
dan menusuk dalam tiap dada
mereka yang tak puas
yang tertahan dengan ketakutan
meski sesungguhnya menyimpan rasa mendidih
seperti tabung gas yang siap meledak
jika terlalu lama terkurung dalam ruang tertutup
atau punya sedikit lubang yang bikin bocor

panggil saja:
perubahan

atau mau sedikit keren:
revolusi

                terkadang malu malu
                tapi juga tak tahu diri
                yang jelas, ia tak selalu baik hati
                justru kerapkali antagonis tapi sembunyi sembunyi

tinggal pilih:

                terima cacat, biarkan berjalan
                lalu pura pura tak peduli
                dan manfaatkan tanpa banyak sesal
                tapi jangan lupa
                imaji dan hasrat bakal terancam
                sebab ia terlalu takut menjadi radikal

atau sekarang:

                ledakkan saja!

Malang. 3 Agustus 2011

Civitas Diaboli, Ode Machiavelli.

angkara!
singkirkan!

                bukan dunia tak bernama
                hanya kata yang bercerengkama

                bukan dunia tak berprasangka
                tapi kata yang menghantui massa

stigma!
penggal!

                bukan teror yang tak bermuka
                tapi bahasa yang menjelma

                bukan teror yang berbisik
                tapi bahasa yang bikin bergidik

persepsi!
bungkam!

                ada makna
                karena diberhala
   
                ada tersangka
                karena dipaksa

                ada hukum
                karena niscaya

                ada penguasa
                karena merasa

hebat!

Malang. 1 Agustus 2011

Tirakat Malam.

ketika mimpi mengetuk hatimu
dan kujawab: ya
masihkah kau di sisiku
karam bersama duka
atau mengapung entah di mana
menunggu
 
                barangkali dosa dosaku
                tak terbasuh, ikhlaskanlah
                karena letih
                kadang tak tahu diri
                atau anganmu sarat
                harapan yang terlalu berat
                untuk kuwujudkan

sementara aku
bukan siapa siapa
cuma ada mimpi sederhana
dan hanya sedikit ku pinta
selebihnya tiada
 
                tapi,
                tetaplah tinggal
                tunggu dan tak beranjak

karena
tubuh halusmu yang slalu
ingin kusentuh,
saat marah dan lelah
jadi peluh

                sebab jangan lupa
                bersiaplah
                kau harus tahu

ketika mimpi mengetuk hatiku
cuma satu:
kamu

(selamat terpejam)

Malang. 1 Maret 2011