Teringat Sang "Unabomber".

 

Tidak, apa yang mencemaskanku adalah bahwa dalam beberapa hal aku dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan ini dan kemudian merasa nyaman di dalamnya, sehingga tidak lagi marah terhadapnya. Dan yang aku takutkan adalah ketika pada tahun-tahun mendatang di saat aku mungkin lupa, aku mulai kehilangan kenanganku terhadap pegunungan atau hutan-hutan, serta kehilangan rasa kepekaan terhadap alam liar. Tetapi aku takkan takut jika mereka akan mematahkan semangatku.
— Ted Kaczynski

Seminggu belakangan, terjadi tiga kali teror bom buku dalam kurun waktu yang hampir bersamaan hingga mendadak menyita perhatian publik Indonesia. Teror bom buku tersebut dikirim kepada tiga orang yang berbeda, yang pertama adalah Ulil Abshar Abdalla, orang penting Jaringan Islam Liberal. Yang kedua adalah Gories Mere, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BNN. Dan yang ketiga dikirim pada Japto Soerjosoemarno, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP). 

Ada satu persamaan dalam tiga bom buku tersebut: stidak mengenai target. 

Akibat peristiwa ini saya jadi teringat dengan ulah ‘sang teroris’ yang dijuluki media massa Amerika dengan nama “Unabomber”. Salah seorang yang pernah menjadi target utama dan menghabiskan biaya investigasi paling mahal dalam sejarah FBI. 

‘Sang teroris’ memiliki nama asli Theodore John Kaczynski (Ted), seorang pakar matematika yang jenius. Di masa sekolah, ia sempat menjalani beberapa akselerasi kelas, dan pada usia 16 tahun ia telah diterima Universitas Harvard. Lalu mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Michigan dan kemudian menjadi asisten profesor di Universitas California Berkeley pada umur 25 tahun, namun ia mengundurkan diri 2 tahun berikutnya. 

Tahun 1971, saat berumur 29 tahun, Ted pindah ke hutan di kawasan Lincoln, Montana, kemudian membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggalnya, hidup sendiri tanpa menggunakan listrik maupun teknologi modern lainnya. 

Ted memutuskan untuk melakukan aksi-aksi kampanye bom setelah melihat alam liar di sekitar lingkungan rumahnya mulai tergerus oleh pembangunan dan eksploitasi industri. Mulai dari 1978 hingga 1995, ia mengirimkan 16 bom kepada berbagai macam target, yaitu orang-orang yang ia anggap sebagai ‘pemicu’, ‘pengembang’ atau ‘pelindung’ industrialisasi, termasuk beberapa profesor teknik, bos korporat, pemilik toko komputer dan penerbangan di Amerika, membuat 3 orang terbunuh dan 23 orang mengalami cedera. Itulah alasan mengapa ia dijuluki Unabomber (University and Airline Bomber) oleh FBI dan media massa sebelum jati dirinya teridentifikasi. Dan informasi atas dirinya pernah dihargai sebesar 1 juta dolar sehingga membuatnya jadi rebutan publik Amerika Serikat. 

Pada 24 April 1995, Ted mengirim surat kepada The New York Times, ia berjanji jika The New York Times ataupun The Washington Post bersedia mempublikasikan manifestonya maka ia akan ‘berhenti dari aksi terorisme’. Bahkan majalah porno Penthouse juga pernah sukarela menawarkan publikasi, namun ditolak mentah-mentah olehnya. Di dalam manifesto yang berjudul “Industrial Society and Its Future” ini Ted berargumen bahwa aksi yang ia lakukan memang ekstrim tetapi itu merupakan taktik yang sangat diperlukan demi menarik perhatian masyarakat atas semakin terkikisnya kebebasan dan otonomi manusia akibat teknologi modern. 

Ironisnya, keberhasilan penangkapan Ted Kaczynski (yang kemudian juga sempat diduga sebagai pembunuh berantai terkenal di Amerika berjuluk “Zodiac Killer”) justru berawal dari saudara laki-lakinya sendiri, David Kaczynski, yang mengenali tulisan tangan Ted dalam manifesto tersebut (setelah dipublikasikan) dan kemudian membantu investigasi FBI. Hingga hari ini, Ted masih mendekam di penjara Colorado dengan keamanan super-maksimum, dihukum seumur hidup tanpa ada kemungkinan bebas dengan jaminan. Sedangkan gubuk yang ia bangun di hutan Montana masih diabadikan di salah satu museum di Amerika Serikat.

**********

Kita semua berada disini, di bumi.
Dan tak ada seorangpun dari kita yang memiliki hak atasnya.
— Benjamin Tucker

Seperti halnya kita pahami, tidak mungkin diingkari bahwa teknologi memang dapat mengistirahatkan manusia dari kerja-kerja berat sehingga kehidupan pun juga dapat menjadi lebih mudah (dalam beberapa hal). Namun persoalan utama yang seringkali luput diperhatikan ialah kapitalisme sebagai sebuah sistem yang sekarang ini merajai dunia memiliki karakteristik yang tak dapat digugat yaitu menuhankan laba. Sehingga perkembangan teknologi perlu digenjot terus menerus demi ekspansi kapital. Kasarnya, teknologi dibutuhkan demi efisiensi, dan kapital dibutuhkan demi pengembangan teknologi, jadi keduanya saling dependen. Artinya, ini berbahaya bagi umat manusia, tetapi sesungguhnya juga mengandung bahaya bagi kapitalisme sendiri, karena jika salah satu dihancurkan maka sistem industrialisasi yang eksploitatif ini juga lebih rentan untuk diruntuhkan. 

Dalam bahasa Herbert Marcuse, teknologi lebih dari sekadar perkakas, melainkan ideologi dan pranata sosial baru yang tumbuh begitu cepat. Contoh paling gamblang dapat kita amati melalui teknologi informasi, yang termanifestasi ke dalam wujud hegemoni media massa. Ia adalah maha-kreator yang cenderung manipulatif, penjaja berita maupun hiburan yang mampu menanamkan nilai-nilai baru yang kemudian banyak disepakati oleh masyarakat sehingga kemudian tercipta lifestyles baru yang non-esensial. Belum lagi jika perkembangan teknologi ini mulai banyak tingkah melalui pola-pola industrial yang semakin memicu kehancuran alam. Secara cepat ia juga mampu membangun ‘penjara-penjara’ psikis bagi manusia. Oleh karena itu, sesungguhnya teknologi berperan aktif sebagai alat doktrin yang sah dalam kerangka kapitalis. 

Berangkat dari titik inilah maka kita dapat memahami apa yang diyakini oleh Ted Kaczynski, ia sendiri juga mengakui bahwa apa yang memotivasinya melakukan aksi pengeboman tersebut pertama-tama bukanlah berasal dari segala macam teori yang mengkritisi sistem industrialisasi dan kebudayaan yang pernah ia baca (seperti karangan Jacques Ellul, Eric Hoffer, Neil Postman ataupun Edward Abbey), namun ketika menyaksikan sendiri saat mesin-mesin industrial tersebut mulai merobek pepohonan dan menghancurkan alam di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. 

Masyarakat industrial-teknologikal takkan dapat direformasi. Jika ingin mengembalikan harga diri serta otonomi manusia sekaligus mempertahankan keberlanjutan ekologi maka sesegera mungkin sistem ini harus dilenyapkan. 

Ataukah kita justru merasakan ‘kebebasan penuh’ di saat kerja-kerja bahkan aktivitas keseharian manusia telah digantikan oleh robot, seperti dalam film “Surrogates”? 

Selain itu, bukankah sungguh mengerikan jika kita harus hidup dalam situasi seperti apa yang diwartakan oleh gerakan Zeitgeist melalui Venus Project-nya, yaitu penataan ulang kehidupan sosial di dalam kerangka teknologi? Artinya para teknokrat ini menyajikan sebuah blue print atas masa depan umat manusia yang dikuasai oleh keberadaan teknologi dalam kerja-kerja keseharian. 

Lalu apa yang harus kita kerjakan?
   
Duduk sepanjang hari mengontrol mesin-mesin? Tergeletak di depan televisi sembari digerayangi alat-alat pijat otomatis? Bermain sepakbola melawan para robot? Atau malah memodifikasi mereka menjadi alat senggama yang tak lelah mendesah? 


Pikirkan jawabannya sembari menonton film “The Matrix”. Karena itu, agaknya tidak berlebihan jika saat ini kita berbisik: 

Panjang umur Theodore…

Anak-anak versus “Monster” Leviathan.


"When I was 5 years old, my mother always told me that happiness was the key to life. When I went to school, they asked me what I wanted to be when I grew up.  I wrote down ‘happy’. They told me I didn’t understand the assignment, and I told them they didn’t understand life."
— John Lennon
   
The creative adult is the child who has survived.
— Ursula K. Le Guin

Semasa anak-anak, saya suka jajan sembarangan. Dulu saya jarang sekali dilarang membelanjakan uang untuk membeli apapun, meskipun tentu saja ada beberapa ‘petuah’ yang tak boleh dilanggar. Saya teringat bagaimana nikmatnya menusuk pentol sembari menyesap segarnya es wawan tiap sepulang sekolah. Tentu saja, setelah beberapa hari tenggorokanku pasti terasa agak serak, tapi toh takkan membuat keracunan. Lain sekarang, sedari berangkat sekolah, anak-anak harus selalu diperingatkan tentang betapa berbahayanya permen-permen yang beredar di pasaran, atau jajanan yang dibuat dari bahan-bahan yang telah kadaluarsa. Bahkan ibu-ibu yang baru saja memomong bayi pun harus ekstra waspada dalam memilih susu formula untuk buah hatinya. 

Ketika anak-anak, saya suka berbicara sendiri saat di kamar mandi, sambil memainkan orang-orangan (berbentuk seperti tokoh-tokoh kartun) dan menciptakan dialog seenak hati, mungkin seperti dalang saat bermain wayang. Jika sudah bosan, maka saya kan keluar rumah dan bermain gundu atau sepakbola, adu umbul, petak umpet, gobak sodor atau lompat karet, bahkan setiap bulan sekali saya bersama teman sekampung pergi ke gunung kapur untuk sekadar memunguti bola-bola kapur yang tercecer kemudian memancing di danau terdekat sembari menonton burung-burung beterbangan di kala senja. Sungguh saya sama sekali belum tahu bagaimana caranya berhadapan dengan komputer, apalagi jika harus selihai anak-anak sekarang yang gemar chatting dan rajin melongok status Justin Bieber di jejaring Twitter. 

Saat ini, semakin hari saya justru semakin sering melihat anak-anak gemar berkhotbah dan bertingkah di layar kaca, mereka berlomba menjadi panutan sebayanya selayaknya parodi orang dewasa yang berebut tiket untuk menjadi idola baru. 

Agaknya, kemajuan pesat yang kita rasakan sekarang membuat setiap orang tua terjebak di ujung tanduk, sedari awal mereka begitu gugup dan tergesa-gesa untuk mempersiapkan buah hatinya menjadi jawara. Atas alasan inilah yang seringkali juga membuatku terheran-heran, apa perlunya si belia yang bahkan baru saja belajar berjalan harus disekolahkan di sebuah lembaga bernama playgroup? Atau anak seusia SD yang harus diikutkan dalam berbagai lembaga bimbingan belajar atau kursus-kursus sepulang sekolah? 

Puluhan alasan digelontorkan, dan semuanya akan mengarah pada satu kesimpulan: setiap anak harus berprestasi dan cepat beradaptasi dengan dunia yang esok ditapakinya. Sehingga artinya juga muncul satu kesimpulan lagi: setiap orang dewasa harus pintar mengarahkan si anak demi kemajuan yang diinginkan. 

Ah, sungguh berat tugas yang mereka emban.

Dan saya kembali teringat, pada usia seperti itu, saya justru bermain kesana-kemari tanpa kenal waktu, mempelajari banyak hal baru tanpa harus terbelenggu ke dalam sebuah institusi atau lembaga. Jika salah biarkan saja itu menjadi kesalahan, tanpa perlu waspada agar selalu melakukan sesuatu yang benar. Tepat kiranya apabila George Santayana pernah mengetengahkan keresahan bahwa anak-anak yang hanya dididik di sekolah sesungguhnya adalah anak-anak yang tak terdidik. 

Seharusnya kita memahami bahwa bermain berarti mengalami ekstase spontanitas. Bermain adalah tahapan untuk memerdekakan kreativitas, bukan malah memenjarakannya. Bermain memiliki esensi yang penuh makna sebagai sebuah upaya untuk menjauhkan diri dari kungkungan dominatif. Di tengah kepungan kapital yang semakin buas dalam mengomodifikasikan waktu dan aktivitas manusia seperti sekarang ini, maka anak-anak harus bebas. Mereka harus bermain atas imajinasi sendiri, bukan kontrol dari impian orang-orang dewasa yang dipenuhi ‘simbol’ atau ‘imaji’ manipulatif hasil rekayasa korporat. 

Karena itu, sesungguhnya bermain bukan merupakan pertanda kemalasan. Bermain bukan merupakan hal yang sepele dan tidak bermanfaat. Justru ia menciptakan produktivitas tersendiri, yang mungkin takkan pernah selaras dengan sudut pandang akumulasi profit. Sebab ia memaksimalkan waktu luang dan melawan belenggu keterasingan. Bermain juga memiliki esensi untuk mengaktualisasikan ekspresi dan hasrat dalam diri individu, yaitu apa yang disebut sebagai kebebasan, kesenangan dan kepuasan. Tak seharusnya anak-anak dilarang bermain, apalagi keluar rumah. 

Namun, semua ini bukannya tanpa hambatan. Masa sekarang adalah sebuah persaingan, perputaran, kompetisi dan pemenuhan artifisial. Sehingga anak-anak harus segera dipelonco agar dapat memasuki dunia baru yang sesungguhnya belum waktunya, sebab bukan pada tempatnya. 

Ernest Hemmingway pernah mengemukakan adanya kekeliruan besar mengenai kebijaksanaan orang tua, sebab sesungguhnya mereka tidaklah bertambah bijaksana, melainkan bertambah hati-hati. Tak heran jika Antoine de Saint-Exupery melalui “The Little Prince”-nya juga berupaya menggugat dan mengadili perilaku orang dewasa yang seakan-akan tampil arif dan mulia di hadapan anak-anak, pasalnya si orang tua merasa telah meluangkan banyak pengorbanan demi kemajuan sang anak. Padahal? Ada banyak kesalahan yang perlu dikoreksi ulang. 

Kapitalisme telah berhasil merasuki setiap sendi keseharian manusia, tak luput anak-anak. Mereka digembalakan oleh selera pasar, orang-orang dewasa yang memiliki pengaruh dan otoritas terhadapnya, para pelaku industri, selebritas, termasuk para pengajar serta orang tua mereka sendiri. Kapitalisme telah menyusup ke dalam banyak rupa, melalui tokoh-tokoh animasi Disney hingga sihir Harry Potter. 

Di dalam Alkitab, ada sebuah istilah yaitu “Leviathan”, digambarkan sebagai sesosok monster laut raksasa. Thomas Hobbes pernah mengilustrasikan Leviathan sebagai fenomena dimana negara menjadi ekspresi terluhur dari kekuatan yang demikian agung. Keduanya menyajikan interpretasi yang begitu menakutkan. Di lain pihak, istilah Leviathan juga dipakai oleh Fredy Perlman untuk menggambarkan “peradaban” (dalam bukunya “Against His-story, Against Leviathan), dalam artian sesuatu yang memiliki kekuatan dahsyat dan cenderung destruktif. 

Jadi, bagaimana jika Leviathan yang kita hadapi sekarang tidak memiliki raut muka yang ganas, alih-alih bertanduk ia malah memiliki rambut yang menawan, alih-alih kejam ia justru tampil dengan sosok lucu nan rupawan dengan sikap bak pahlawan hingga mampu membius kepolosan anak-anak. 

Lalu, bagaimana kita dapat mengenalinya? 

Secepatnya kita harus segera membuka mata, karena sudah semakin jelas bahwa sekarang anak-anak kita ‘dibesarkan’ oleh perusahaan.

— anak-anak, kencangkan sabuk pengaman,
karena perlombaan telah dimulai lebih cepat! 

Seni Telah Mati?


Kahlil Gibran pernah menyiratkan renungan:

Seni orang Mesir adalah dalam ramalan

Seni orang Khaldik adalah dalam perhitungan
Seni orang Yunani adalah dalam perbandingan
Seni orang Romawi adalah dalam gema
Seni orang Cina adalah dalam tata cara
Seni orang Hindu adalah dalam menimbang baik dan buruk
Seni orang Yahudi adalah dalam rasa pesimis
Seni orang Arab adalah dalam pengingatan masa lalu dan pelebih-lebihan
Seni orang Persia adalah dalam kerapian
Seni orang Perancis adalah dalam kecermatan
Seni orang Inggris adalah dalam analisis dan perasaan benar sendiri
Seni orang Spanyol adalah dalam fanatisisme
Seni orang Italia adalah dalam keindahan
Seni orang Jerman adalah dalam ambisi
Seni orang Rusia adalah dalam kesedihan 

Para Dadais mendeklarasikan penghancuran seni karena mereka melihatnya sebagai simbol utama dari kultur borjuis. Namun, mereka juga percaya bahwa seni dapat didefinisikan ulang sebagai sebuah pengalaman yang sepenuhnya di dalam hidup.

Lain daripada itu, kaum Kiri justru mengklaim seni realisme sosialis sebagai sebuah karya yang membawa pesan-pesan pembebasan dan perjuangan rakyat.

Banksy yang dikenal sebagai seorang street artist dengan pesan bernada satir dan menohok pun karya-karyanya telah dibanderol hingga jutaan dolar menjadi jajaran koleksi ‘tidak berguna’ bagi bintang-bintang Hollywood seperti Angelina Jolie.

Sementara itu, para insurgen Pemberontakan Paris 1968 memperingatkan bahwa “seni telah mati, jangan nikmati bangkainya.

Semenjak dahulu, sebuah mahakarya seni memang dapat dihargai setara dengan biaya hidup rakyat Ethiopia dalam satu kampung untuk beberapa bulan. Apalagi jika karya tersebut sudah masuk ruang galeri atau pameran kelas wahid dan mendapatkan pengakuan dari para kurator atau intelektual ternama. Ukiran penis kayu yang ujungnya dicocok peniti karya Made Wianta pun dapat dihargai ratusan juta. Padahal banyak dijual di Bali di emperan-emperan cinderamata seharga 10 hingga 20 ribu rupiah. Atau instalasi toilet karya Marchel Duchamp (yang dinamai “Fountain”) yang begitu digadang-gadangkan sebagai avant-garde. Padahal itu hanya tempat untuk buang hajat yang tersedia dimana-mana.

Ataukah ide telah menjadi begitu mahadaya?

Atau justru orang-orang itu yang membuatnya menjadi nampak begitu berharga?

Sebaliknya, pada saat yang sama, bagiku, mungkin juga kamu, coretan-coretan pada kertas usang pun dapat menjadi sebuah karya seni, walaupun tidak ada seorangpun yang pernah menganggapnya berharga, setidaknya untuk kita nikmati sendiri.

Jadi, sesungguhnya apa itu seni kalau ia telah melebur ke dalam segala ruang, dan mampu menjelma menjadi apa saja?

Shiratal Mustaqim.

awas menjejak langkah
tengok segala arah
jangan sampai terjerembab
dan berguling
di tengah lidah api

yang bernama:
tirani

Malang. 17 Februari 2011

Revolusi.

mencabik ketakutan
menggugah nafas yang terlelap
merangsang langkah untuk berderap
menyingkirkan bisu
sekaligus membanjiri harmoni
dengan tunggal persepsi

Malang. 17 Februari 2011

20 Jam.

 

"What we don't understand we can make mean anything.
— Chuck Palahniuk

I

Sebelum 1 jam pertama…

Saya datang terlalu cepat, hanya ada segelintir orang yang telah menempati kursinya dan saling mengobrol dengan teman sebelahnya. Ada pula satu keluarga, bapak, ibu dan dua anak, yang mulai menata barang bawaan sekaligus bekal mereka selama perjalanan. Akhirnya saya putuskan untuk menggelar koran dan duduk di pinggir pintu masuk sembari memandangi orang-orang yang saling berkelebatan tiada henti.

Setengah jam berlalu, melongok ke tempat duduk saya dan tempat sebelahnya, ternyata masih kosong. Saya tak beranjak dari pintu masuk. Beberapa menit kemudian ada seorang anak muda, sepertinya beberapa tahun lebih tua dari saya, ia menuju depan kursi saya. Saya ingin menghampiri lalu menyapanya namun setelah duduk ia langsung memejamkan mata, mungkin kelelahan. Akhirnya saya kembali nangkring di pintu masuk sembari cari udara segar.

Bocah-bocah mulai hilir mudik menawarkan koran bekas, yang dapat dipakai alas duduk atau kipas-kipas. Bersaing dengan kakak-kakaknya yang jual kipas beneran dengan warna-warna mencolok. Sementara itu, para lelaki dan perempuan pedagang minuman sudah mulai bergerilya di dalam dan saling berebut meneriakkan jurus rayuan.

Banyak orang yang telah berdatangan, saya pun beranjak menuju tempat duduk. Sedikit demi sedikit mulai terisi penuh, dan armada rakyat ini pun melaju.

II

1 jam pertama…

Berkenalan dengan si mas yang duduk di sebelah saya, ia orang Jakarta dan ternyata berniat melancong ke rumah temannya di Singosari, ada urusan bisnis. Kemudian ibu di sebelah ujung yang terpisah dengan suaminya di kursi belakang, katanya ia turun Blitar. Lalu dengan ibu muda yang duduk di depan saya ditemani kerabatnya, ia membawa dua anak kecilnya, ternyata terpisah dengan sang kakek yang duduk di kursi depan. Lumayan jauh juga, turun Semarang. Dan si anak muda di depan saya masih terlelap.

Jam-jam berikutnya…

Setelah berhenti di beberapa tempat, semakin bertambah banyak orang berdatangan. Tentu saja beberapa dari mereka tidak kebagian tempat duduk, dan akhirnya mulai banyak orang yang berdiri berjejalan. Ada satu yang lucu, ada seorang bapak berlogat Jawa Tengah yang baru datang langsung mengomel, “Piyeee seh iki, wong-wong loket ra genah blas ancene, mosok aku ki wes tuku tiket larang-larang tapi tibak’e ra oleh panggon gawe lungguh, eh koq malah disangoni ember cat gawe lemek bokong.” (Gimana sih ini, orang-orang loket memang gak bener, masak saya sudah beli tiket mahal-mahal tapi ternyata tidak kebagian tempat duduk, eh koq malah dibawain ember cat buat alas pantat.)

Saya langsung tertawa, bagaimana tidak, ember cat yang sedari tadi ditenteng-tenteng oleh si bapak ternyata kosong, dan fungsinya justru untuk tempat duduk.

Lalu ada si bapak pelakon Reog Ponorogo, yang awalnya memperoleh tempat duduk namun hanya beberapa jam, akhirnya ia harus terusir karena sang empunya menagih jatah. Apa boleh buat, ia langsung berdiri. Tapi ia tak kenal lelah, sepanjang perjalanan mulutnya tak pernah berhenti menyerocos, kadang sesumbar berlebihan, tetapi kadang juga menggelikan.

Dalam waktu singkat, kedua bapak-bapak yang umurnya pasti sudah berkepala empat ini langsung mengakrabkan diri. Mungkin karena persamaan nasib (tidak kebagian tempat duduk), mereka malah bukan seperti dua orang yang baru kenal, langsung akrab dan saling bercanda satu sama lain, bahkan saling ledek.

Dua orang ini jadi pusat hiburan, keduanya memang sama-sama ceplas ceplos kalau bicara, kalau kata orang Jawa: sak njeplak’e, sak enak udele. Tapi jujur saja, keduanya memang lucu. Dan kelucuannya mulai makin menjadi-jadi ketika ada seorang wanita muda yang baru datang dengan membawa boneka panda besar berwarna pink, ia juga tidak kebagian tempat duduk. Langsung saja, si bapak berlogat Jawa Tengah menyodorkan embernya untuk diduduki, si wanita muda ini pun menerima dengan senang hati.

Dan si bapak lakon langsung meledek, “Woooo, onok pahlawan kesiangan rek, hahaa…” (Woooo, ada pahlawan kesiangan rek, hahaa…)

Si bapak berlogat Jawa Tengah langsung merengut. Tapi ia tak mau kalah, “Yo babahne ta lah, dadi uwong koq usil wae. Mbak’e kan yo sakne lek kudu ngadek suwe. Wong sampeyan yo pasti gelem wae kan lek tak tawani ember iki gawe lungguh…” (Ya biarin lah, jadi orang koq usil saja. Mbak-nya kan ya kasihan kalau harus berdiri lama. Toh bapak juga pasti mau-mau aja kan kalau saya tawari ember ini buat duduk…)

Si bapak lakon menimpali lagi, “Wooo, ati-ati loh mbak, awas ngene iki pasti onok karepe, temenan ati-ati loh mbak sampeyan…” (Wooo, hati-hati loh mbak, pasti gini ini ada maunya, beneran harus hati-hati loh mbak…)

Dan si bapak satunya membalas, “Bah, dadi uwong koq sirik wae.” (Bah, jadi orang koq sirik aja.)

Si wanita ini pun cuma bisa tersenyum-senyum melihat tingkah polah kedua bapak ini. Saya bersama penumpang-penumpang di sebelah saya pun juga hanya tertawa. Kedua orang ini memang menjadi hiburan tersendiri di tengah kegerahan.

Beberapa saat kemudian, dengan gayanya yang agak sok, si bapak lakon menraktir kopi seorang bapak bertampang Arab yang juga baru dikenalnya dan dipanggilnya dengan sebutan “abah”. Ia seakan terlihat tak mau kalah dermawan dengan si bapak berlogat Jawa Tengah, padahal baru sejam sebelumnya ia sesumbar dan menggoda salah seorang wanita penjual nasi bungkus yang sudah hilir mudik tiga kali di hadapannya.
   
             “Mbak mbak, enek iwak opo ae tho?
             (Mbak mbak, ada ikan apa aja sih?)
   
             Si mbak menjawab, “Telor sama ayam, pak…
   
             “Waduh, lha aku alergi ayam mbek telor iki,

             lek iwak-iwak ora onok ta?
             (Waduh, lha saya alergi ayam sama telor,

             kalo ikan-ikan ada nggak?)
   
             Si mbak menjawab lagi dengan sabar,

             “Nggak ada, bapak…
   
             “Wah yowis ora sido tuku nek ngono.
             (Wah ya sudah tidak jadi beli kalau begitu.)


Akhirnya si mbak ngeloyor dengan seutas senyum. Sementara si ibu di sebelah saya langsung menimpali, “Halah halah pak, iso-iso ae tho lek nggudoi, lha wong jelas-jelas dodolane ayam seng ditakokno koq iwak. Lha engkok lek dodolane iwak seng ditakokno ayam, lek ancen niat ora tuku yo mbok ora usah takok-takok…” (Halah halah pak, bisa-bisanya kalau menggoda, lha sudah jelas jualannya ayam yang ditanya koq malah ikan. Lha nanti kalau jualan ikan yang ditanyain ayam, kalau memang niat tidak beli ya mbok tidak usah tanya-tanya…)

Si bapak lakon hanya tertawa terbahak-bahak. Ia sungguh santai menghadapi segala sesuatu, meskipun kelelahan terpancar dengan jelas dari wajahnya yang sudah mulai dibanjiri peluh.
 
III

Setelah 7 jam perjalanan…

Di tengah sedang asyik makan nasi bungkus, saya dikejutkan dengan teriakan bapak-bapak penumpang di belakang saya. Tiba-tiba ia melompat ke atas kursi, tak ayal saya pun kaget dan langsung berdiri. Si bapak ini langsung mencak-mencak kesetanan tidak karuan, seperti orang yang sedang memperagakan jurus silat. Matanya pun menatap dengan nyalang dan menyapu seluruh penumpang, termasuk saya, membuat sedikit bergidik. Ia duduk bersama anak perempuannya, sontak si anak ini langsung menangis keras sekali sembari berteriak, “Maaf pak, maaf pak, maaf pak…”. Kemudian salah satu temannya mencoba menenangkan si bapak, tapi malah dipukul seakan-akan ia adalah musuh.

Seketika saja, orang-orang langsung mengerubuti dan mencoba menenangkan si bapak. Setelah melalui proses yang agak lama, dan membutuhkan lebih dari 3 orang lelaki, akhirnya si bapak yang berasal dari Madura ini mulai dapat ditenangkan dan dipapah duduk kembali di kursinya.

Dan barulah kemudian saya menyadari, bahwa nasi bungkus saya tadi telah terlepas dari genggaman dan akhirnya meluncur ke bawah kursi. Sialan.

Kemudian si bapak brewok (suami ibu yang duduk satu kursi bersama saya) tukar tempat duduk dengan mas asal Jakarta, dan akhirnya satu kursi juga dengan saya. Lalu ia bercerita kepada kami, bahwa bapak yang mencak-mencak tadi berangkat ke Jakarta untuk menjemput anak perempuannya di agen penyaluran TKW. Dan ternyata si bapak mendapati bahwa anak perempuannya (yang bekerja di Arab) ini telah menikah dengan seorang lelaki. Padahal ia baru seusia anak SMP, entah karena stress atau entah ada masalah lain, akhirnya si bapak ini semenjak awal perjalanan seperti mengalami depresi. Pantas saja, yang saya tahu sedari berangkat si bapak ini memang terlihat lemas seperti orang sakit.

Lalu, obrolan berlanjut, satu persatu penumpang mulai bercerita tentang dirinya, tentang si ibu-bapak asal Blitar yang baru saja mengunjungi keluarga di Jakarta, si bapak lakon yang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk melatih pagelaran Reog Ponorogo di beberapa kota, si bapak berlogat Jawa Tengah yang kangen keluarganya di rumah, si wanita muda yang ternyata adalah TKW dan hari ini ia pulang ke Tulungagung membawa boneka panda untuk menghadiahi anak perempuan yang telah lama berpisah darinya.

Perlakuan, obrolan-obrolan maupun kisah-kisah yang meluncur dari para penumpang ini membuat saya merasakan suasana yang berbeda. Ternyata dunia ini akan selalu memberikan senyumnya yang terindah di saat kita memiliki hasrat untuk saling berbagi.

Setelah cukup lama bergunjing, satu persatu dari kami pun tertidur pulas.

IV

Pagi hari… 

Perjalanan telah sampai di Madiun, tepat waktunya sarapan. Kami pun beramai-ramai membeli pecel Madiun yang cuma seharga 3000 rupiah. Lauknya memang tidak terlalu banyak, tapi porsinya cukup lumayan. Tiba-tiba (dan kenapa selalu tepat di saat saya sedang makan) si bapak Madura ini melongok ke kursi saya kemudian bicara ke bapak brewok dengan logat Jawa Timuran, “Pak, tulung sampeyan lungguh sebelahku kene ae ngancani aku yo pak, aku wedi, onok seng arep mateni aku pak…” (Pak, tolong anda duduk di sebelah saya saja nemenin saya pak, saya takut, ada orang yang mau bunuh saya pak…) 

Hekz, sedang nikmat mengunyah nasi tenggorokan saya langsung tercekat.

Tapi si bapak brewok menjawab dengan santai, “Iyo pak, wes ta lah sampeyan lungguh  seng tenang ae nang kono, moco Al-Fatihah seng akeh, gak onok opo-opo koq…” (Iya pak, bapak duduk yang tenang aja disana, baca Al-Fatihah yang banyak, tidak ada apa-apa koq…)

Akhirnya si bapak Madura kembali duduk tenang di tempatnya.

Saya benar-benar tidak habis pikir. Ada-ada saja.

Tapi belum berhenti di situ, sejam kemudian si bapak Madura kembali merengek ke bapak brewok dengan kata-kata yang persis sama. Si bapak brewok masih menanggapi dengan santai, “Iyo iyo wes ta lah, sampeyan lungguh ae, engkok tak gawakno bedil.” (Iya iya sudahlah, anda duduk aja, nanti saya bawakan pistol.)

Saya agak sedikit geli mendengar jawaban itu, tapi juga masih heran dengan bapak Madura satu ini, benar-benar tingkah lakunya tidak wajar.

Satu persatu penumpang mulai banyak yang turun, diawali si bapak pelakon Reog Ponorogo, kemudian bapak berlogat Jawa Tengah hingga wanita muda TKW yang membawa boneka panda.

V

Menuju 20 jam terakhir…
Puncak dari kericuhan ini, satu jam sebelum bapak brewok ini turun, si bapak Madura kembali merengek dengan permintaan yang persis sama. Akhirnya si bapak brewok menuliskan beberapa ayat Al Qur’an di secarik kertas, mungkin ia berusaha menenangkan hati si bapak Madura ini, karena sebentar lagi ia juga harus turun. Pastinya ia enggan jika nantinya ada masalah yang merecokinya lagi. Setelah selesai, ia berikan kertas itu pada anak perempuan si bapak Madura tersebut, dan berpesan agar sering-sering dibaca.
Kemudian si ibu-bapak asal Blitar ini bersiap turun, seperti penumpang-penumpang sebelumnya, keduanya juga berpamitan dan menyalami saya, bahkan si ibu sempat menawarkan, “Mas, kapan-kapan main ke rumahku ya, dekat sini aja koq…
Saya terdiam beberapa detik, sungguh saya tidak menyangka akan ditawari seperti itu oleh orang yang baru saya kenal, apalagi dalam perjalanan. Entah itu sekadar basa-basi atau tidak, tapi saya pikir itu pasti karena keterikatan yang telah muncul di antara kami sesama penumpang, walaupun hanya sesaat.
Lalu saya menjawab, “Hehe, iya bu, insyaallah kalo ada waktu pasti mampir…
Akhirnya kami melambai satu sama lain.
Kemudian si mas asal Jakarta berpindah tempat duduk agar bisa selonjoran. Saya duduk sendirian, tapi tidak lama, jujur saya agak takut dan khawatir dengan bapak Madura itu maka akhirnya saya putuskan untuk pindah tempat pula, daripada nanti saya yang diminta tolong, tambah runyam.
Saya menemukan kursi kosong untuk merebahkan badan, dan sebelum memejamkan mata saya sempat memikirkan kilas balik kejadian beberapa jam ke belakang.
Ada banyak kekisruhan di dalam, begitu pula udara panas yang tak bisa kompromi, kecuali di kala hujan deras. Semua itu membuat kesal dan capek. Juga ada banyak kericuhan dari para pedagang asongan, tapi mereka tak pernah lupa untuk saling bertukar lelucon dan menyapa penumpang ketika bertatap muka. Ataupun para pengamen yang selalu mampu mengusir rasa kantuk kami dengan suara-suara fals tapi bersemangat. Tapi sungguh menyenangkan ketika menyadari bahwa perjalanan dengan armada rakyat kelas bawah ini membuat kami menjadi satu keluarga besar yang saling berbagi rasa dan tawa, bebas dari alienasi sosial, walau hanya untuk 20 jam.
Dan bagi kami para penumpang mungkin terselip satu perasaan yang seirama:
Selalu ada keindahan dimanapun kita menjejakkan kaki, bahkan di tengah suasana yang tak nyaman, hanya perlu sedikit membuka mata dan melawan kegarangan hati.
Pemberhentian terakhir, saya turun dengan menenteng senyum lebar dan rasa lelah yang telah hambar.
   
Selamat tinggal 20 jam yang ajaib…

Monotheis.

sebuah makna adalah perpanjangan tangan kuasa,
karena dialah kendali yang diamini

Malang. 17 Februari 2011

Konstelasi Jual Diri.

ada yang gelisah karena saban hari memungut sampah
atau bergelut dengan keringat
dengan nafas anyir laksana tunggu kiamat

tapi tak sedikit yang terbahak
hanya diam di tempat
menjilati darah atas nama dahaga

              inikah kata orang:
              kompetisi?

              melaju begitu cepat
              berebut satu singgasana
              demi gelar paduka

Malang. 3 Februari 2011

Mimpi yang Terkepal di Antara Segenggam Kebencian.


It’s a mystery to me.
We have a greed to which we have agree.
And you think you have to want more than you need.
Do you have it all want be free.
Society you’re crazy breed.
Hope you’re not lonely without me.
— Eddie Vedder, Society

Belakangan ini saya sibuk berkeliaran di kampus, mengurusi segala macam tetek bengek persiapan ujian komprehensif (istilah untuk menyebut sidang skripsi) yang sangat menyita waktu. Betapa tidak, saya harus menunggu dosen tanpa kepastian apakah dosen tersebut akan datang atau tidak. Satu hari, nihil. Dua hari, nihil. Tiga hari, tetap nihil. Baru hari keempat ada sedikit kemajuan, dan untunglah dapat terselesaikan di hari-hari berikutnya.

Rutinitas ruwet seperti ini begitu membosankan, apalagi tanpa ada teman. Lebih dari separuh mahasiswa angkatan saya telah lulus, hanya beberapa gelintir saja yang saya lihat di kampus, nampaknya mereka juga memiliki kesibukan yang sama seperti saya. Faedahnya, urusan-urusan semacam ini memang berkhasiat untuk semakin merekatkan hubungan pertemanan. Dari yang semula tidak kenal menjadi kenal, dan tidak akrab menjadi tambah akrab. Tentu saja, karena ‘persamaan nasib di ujung tanduk’.

Jika semuanya lancar, maka beberapa minggu lagi di jidat saya akan tertempel sebuah label permanen bertuliskan “fresh graduate”. Dan beberapa bulan lagi saya akan diwisuda, itu artinya saya harus sesegera mungkin mulai mencari pekerjaan.

Menjelang saat-saat itu, belakangan juga membuat saya sering teringat petualangan si Christopher (a.k.a Alexander Supertramp) yang kisah nyatanya diuraikan kembali dalam buku dan film berjudul “Into the Wild”.

Berisi cerita tentang Christopher Johnson McCandless, seorang anak muda broken home. Chris berontak dari kemauan orangtuanya jika sudah lulus kuliah maka ia harus memiliki karir yang cemerlang demi masa depannya. Chris berpandangan lain, rupanya setelah membaca banyak buku karangan humanis seperti Leo Tolstoy, Dr. Zhivago maupun Henry David Thoreau, ia mendapati bahwa hidup bahagia tidaklah melulu berkaitan dengan uang. Dan agaknya kemuakan itu juga diperkuat oleh pertengkaran orang tuanya yang semakin menjadi-jadi justru di saat karir keduanya mencapai tampuk kegemilangan.

Selepas wisuda dari University of Emory, Chris memutuskan untuk mendonasikan seluruh uang tabungan yang seharusnya ia gunakan sebagai biaya pendaftaran ke Fakultas Hukum Harvard, kepada Oxfam America. Selanjutnya ia menghilang tanpa kabar dan pergi berpetualang sendirian. Ia melalui banyak hal, mulai dari membantu para pekerja ladang jagung, bertemu para backpacker dan komunitas hippies, berbagi rasa dengan gadis muda yang jago bermain musik folk, tertangkap polisi perbatasan, dihajar petugas kereta api, ditawari adopsi oleh seorang kakek veteran tentara, hingga akhirnya sampai pada tujuan utama perjalanannya: Alaska.

Puncaknya, setelah beberapa bulan hidup di tengah hutan Alaska, ia kelaparan karena tidak menemukan satupun binatang untuk diburu. Dan memaksanya memilih tumbuhan liar untuk dimakan, tapi naas, ia salah pilih tumbuhan sehingga membuat dirinya keracunan, lumpuh, dan akhirnya mati terkapar di dalam “magic bus” (sampai sekarang saya masih penasaran, bagaimana bisa ada bus nangkring di tengah hutan Alaska?)

Tragis memang, di tengah rencana kepulangannya, petualangan Chris justru harus berakhir dengan mengenaskan. Tapi setidaknya ia mati di saat menjalani proses mencari esensi kehidupan sesuai yang selama ini ia idam-idamkan, yaitu apa yang ia sebut sebagai “revolusi spiritual”, sebuah pertarungan puncak untuk membunuh kepalsuan yang ada dalam diri, dan menuju kebebasan.

Bukan di tengah kebosanan dan keterpaksaan di bawah ketiak modernisasi.

**********

""We do not lack communication,
on the contrary we have too much of it.
We lack creation. We lack resistance to the present."
— Gilles Deleuze & Felix Guattari

Jujur saya akui bahwa kisah si Alexander Supertramp ini memang memikat dan menginspirasi. Memberikan pencerahan dan perspektif baru dalam menyikapi hidup. Membuat saya iri dengan segala keberanian yang dimilikinya untuk menempuh puluhan resiko yang tak dapat terprediksikan. Begitu pula teman-teman saya, banyak dari mereka yang terpesona dengan kisah ini. Terutama mereka yang memang menyukai suasana alam liar. Dan di satu sisi, menyimpan kebencian terhadap masyarakat modern.

Mungkin, kamu akan bertanya-tanya:

Kenapa pula harus begitu membenci kehidupan modern? Dan lagi-lagi, kenapa saya harus menyumpahi masyarakat modern? Bukankah mereka menyukai ini? Bukankah ini yang mereka harapkan, sebuah mimpi peralihan dari era kuno menuju era yang lebih maju dan sejahtera? Sebuah pencapaian umat manusia, yaitu peradaban modern.

Oke. Sekarang giliran saya mengajukan pertanyaan:

“Kemajuan dan kesejahteraan” seperti apa yang kamu maksud?

Bagi saya adalah suatu kesalahan fatal jika harus mengamini pembangunan yang berarti perampasan tanah demi estetika kota, penetrasi alam demi akumulasi modal, pendidikan kaum adat demi budaya kerja dan konsumtif, parade filantropis demi kamuflase ekonomis, pembentukan birokrasi demi tatanan demokratis, serta segala macam otorisasi dan dominasi yang akhirnya selalu berujung pada penindasan, penghisapan, degradasi serta pemiskinan massal.

Sudahkah kamu mengerti?

Kesemrawutan dan keganasan-keganasan inilah yang pada akhirnya membuat banyak orang begitu membenci kehidupan modern. Tak sedikit dari mereka yang berupaya keras untuk sejenak menghilang dari lingkup harian seperti ini. Mungkin itu jugalah yang sempat dirasakan orang-orang seperti Christopher, Ted Kaczynski, Subcomandante Marcos, Butet Manurung dan mereka-mereka yang berusaha menghidupi hidup di luar perangkap modernisasi.

Karena itu, bukankah sekarang lebih tepat jika saya mengajukan pertanyaan ini:

“Kemajuan dan kesejahteraan” siapa yang kamu maksud?

Karlmayer: Masih Kalah Berisik Dibandingkan Merzbow, Sama Sekali Tak Halusinogenik Daripada GY!BE.


Minggu sore kemarin di squat, saya dan Aswin menonton sebuah video yang dikenal dengan sebutan “karlmayer”. Video ini menyajikan potongan-potongan gambar dengan suara berisik, lengkingan, jeritan atau cekikikan, mulai dari gambar panorama bunga-bunga indah hingga wajah badut bertopeng seram, diulang beberapa kali. Saya tak tahu deskripsi apapun tentangnya, ketika saya search di internet pun tak ada sumber-sumber yang memaparkan lebih detail terkait karlmayer ini.

Sesungguhnya, racikan noise semacam ini sudah tak terlalu asing bagi saya. Mungkin orang-orang yang terperangah dan begitu terpesona dengan kebisingan karlmayer sekali waktu harus mendengarkan Merzbow. Lagipula, menghabiskan waktu dengan menikmati deretan nomor dari Godspeed You! Black Emperor pun lebih asyik karena dapat memancing imajinasi melalui kesunyian sekaligus ‘keseraman’ yang Efrim Menuck dan kawan-kawannya suguhkan. Jeda di tiap aransemen mereka mampu menghadirkan sekilas ekstase untuk menikmati sensasi ketegangan serta buaian kelam. Atau racikan yang lebih bersahabat di telinga seperti Sigur Ros dan Amiina yang akan membuat saya terseret ke dalam nuansa imajiner yang riang nan damai.

Konon, karlmayer pernah digunakan sebagai ‘media’ untuk menginterogasi seseorang dengan memaksanya terus menerus mendengar suara ini dalam volume maksimal. Dan diyakini mampu berakibat fatal, mulai dari memicu halusinasi hingga sang korban mencapai delusi yang cukup parah.

Saya terbahak-bahak setelah mengetahui informasi ini. Sangat berlebihan, tentu saja berakibat fatal. Siapa yang tidak stress ketika dicekoki suara yang sama terus menerus? Alhasil, video berisik ini sama sekali tak berhasil membuat saya berhalusinasi, selain hanya menyebabkan telinga sedikit berdengung akibat volume yang terlalu tinggi saat menyetelnya, lalu merengut di depan layar komputer dan bertanya-tanya, “apaan sih maksudnya gambar-gambar ini?”.

Entahlah, saya memang tidak merasakan apapun ketika mendengarnya. Mungkin karena saya kurang sensitif atau peka? Atau mungkin gara-gara suasana saat itu memang tidak cocok, sore hari dengan guyuran hujan gerimis. Jadi mungkin lebih pas ketika disetel menjelang adzan subuh? Entah. Tapi kalau itu alasannya, bukankah mendengarkan musik apapun di kala Subuh juga pasti akan terasa sensasi yang berbeda, tentu saja akibat mengantuk.

Ah, satu tips bagi pemuja karlmayer:

Coba cari dan dengarkan Anal Cunt, band homophobic asal Jerman, album “Picnic of Love”, saya jamin pengaruhnya akan jauh lebih dahsyat dibanding karlmayer. Bukan delusi, tapi sepertinya kamu bakal mengalami frustrasi, atau mungkin lebih parah lagi, uring-uringan.

Instrumen Teknologi: Sebuah Kegilaan yang Mengancam.


"When you let the machines take control almost all parts of your life, you’ll lost your humanity. Gradually, you’ll become one of them.
— Green Anarchy

Saling menelepon adalah agenda rutin tiap malam bagi saya dan kekasih saya, bahkan seringkali kami telepon saat larut malam hingga salah satu tertidur dan kemudian hanya terdengar dengkuran di gagang telepon. Sungguh mengenaskan, kami berdua harus pacaran melalui mediasi seonggok mesin bernama telepon genggam.

Tapi tak banyak cara yang mampu kami lakukan, ini memang satu-satunya alternatif agar kami bisa tetap berkomunikasi. Jakarta-Malang terlalu jauh untuk kami tempuh dalam periode yang kontinyu, sehingga membutuhkan waktu luang yang cukup lama agar kami dapat saling mengunjungi dan menghabiskan waktu berdua. Dan waktu luang (sekaligus uang) inilah yang sangat jarang kami miliki.

Belakangan ini, kekasih saya yang notabene pegawai baru di TransTV, sangat sering bercerita panjang lebar tentang betapa parahnya para pegawai disana. Hampir semua memiliki BlackBerry, belum lagi ditambah satu telepon genggam lain dengan merek berbeda. Kondisi kerja disana seakan-akan memang menuntut para pegawainya untuk memiliki BlackBerry. Bagaimana tidak? Tiap ada agenda rapat, memo atau informasi-informasi lainnya selalu disebarkan lewat BBM, sehingga mereka yang tidak memiliki BlackBerry tentu saja bakal kewalahan.

Lucu? Sesungguhnya memuakkan.

Ia juga sering mengeluh karena kerap diacuhkan oleh teman-temannya yang sedang keranjingan gadget satu ini. Contohnya, ketika sedang nongkrong bersama di satu tempat makan dan duduk melingkar di satu meja sembari menunggu makanan datang, mereka justru tidak saling ngobrol tetapi asyik sendiri ber-BBM ria bersama seseorang yang sesungguhnya berada nun jauh disana.

Akibat kondisi kerja (mungkin juga karena gengsi) maka satu-persatu teman kerjanya mulai mengganti telepon genggam lamanya dengan BlackBerry. Alhasil sekarang hanya tersisa segelintir orang yang tidak memiliki BlackBerry, termasuk kekasih saya. Hingga kerapkali ia juga diledeki teman-temannya. Saya tahu ledekan itu hanya bercanda, tapi saya pikir telah begitu keterlaluan ketika seseorang diledek terus menerus hanya karena tidak memiliki produk-produk yang up-to-date. Bukannya saya membela kekasih saya, tapi apakah kamu tidak merasa bahwa segala macam kekisruhan akibat tuntutan gaya hidup ini semakin tidak masuk akal?

Inilah apa yang disebut Karl Marx sebagai fetisisme komoditi, dimana benda, benda dan benda menjadi semacam ‘berhala’ baru bagi masyarakat, ia telah menjelma menjadi candu atau sesuatu-yang-suci-yang-tak-boleh-disepelekan.

**********

"While I am still of flesh and blood and can still discover and connect to my passions and dreams, I am sure that I am not a Machine, I am a human being."
— Mia X. Kursions

Tak dapat disanggah bahwa teknologi mampu menghadirkan sejuta kemudahan yang sebelumnya mungkin tak pernah terbayangkan. Kadangkala saya sendiri pun juga merasa kerepotan ketika harus mengerjakan aktivitas tanpa bantuan perangkat-perangkat elektronik. Teknologi ibarat ‘tuhan’ baru bagi umat manusia. Instrumen teknologi yang kita nikmati sekarang ini memang mempermudah banyak pekerjaan. Tapi di satu sisi, kita juga tak dapat mengelak dari eksternalitas negatif yang menyertainya, seperti bagaimana ia justru sangat berpotensi untuk menyeret manusia menuju alam keterasingan (alienasi), dan melenyapkan aktivitas-aktivitas yang benar-benar nyata tanpa determinasi produk-produk teknologi.

Contoh sederhana saja:

Kita lupa bagaimana capeknya berjalan kaki karena kemana-mana selalu mengendarai mobil atau sepeda motor, kita lupa bagaimana nikmatnya menulis dengan tangan karena telah begitu terbiasa mengetik lewat komputer, kita lupa rasanya cedera akibat bermain bola karena terlalu banyak berkutat di depan gamePro Evolution Soccer“, kita lupa keluar rumah untuk menyapa tetangga dan bermain dengan teman-teman karena malas beranjak dari depan televisi, dan seringkali kita juga lupa bagaimana asyiknya berkenalan kemudian ngobrol langsung dengan orang asing di sekitar kita karena terlalu asyik mengutak-atik telepon genggam untuk sekadar meng-update status atau berbalas wall di Facebook dan menjadi follower para selebritis di Twitter? 

Kita justru sibuk bergaul dengan mesin, bukan sesama kita.

Secara personal tentu saja saya tidak menolak kehadiran dan fungsionalitas teknologi. Bagi saya teknologi memang memberikan banyak manfaat yang sesungguhnya dapat digunakan secara maksimal tanpa perlu mengalami ketergantungan akut terhadapnya. Lagipula bukankah kita juga dapat mengakalinya demi sesuatu yang lebih baik?

Sebagai contoh, internet memang candu yang kuat tetapi juga jangan lupakan bahwa melalui media ini kita dapat mengakses segala macam informasi yang sebelumnya sulit untuk kita jangkau, dan juga jangan remehkan tentang perannya yang sangat vital dalam memperkuat jejaring antar komunitas global. Berapa banyak dari kita yang terinspirasi gelombang protes di Seattle, Praha, Paris, Oaxaca, Vancouver hingga Athena? Jika bukan karena teknologi, bagaimana mungkin kita dapat mendapatkan gambaran tentang semua resistensi itu? Dan tanpa bantuan teknologi, bagaimana mungkin pula resistensi tersebut dapat diinisiasikan kemudian percikan apinya juga meletup di berbagai penjuru dunia?

Namun, peningkatan intensitas komunikasi dan penguatan jejaring pemberontakan tersebut tentunya juga tidak boleh mengecohkan kita dari kenyataan bahwa internet telah memberikan kontribusi masif bagi laju korporasi-korporasi raksasa maupun segelintir kapitalis dan para spekulan di berbagai penjuru dunia.

Menghadapi dualitas tersebut, Ran Prieur, salah seorang kontributor majalah Green Anarchy, menegaskan bahwa sesungguhnya teknologi sama sekali tidak bersifat netral. Yaitu “netral” dalam artian dapat memberikan kebaikan atau keburukan berdasarkan tujuan penggunaannya. Baginya itu adalah sebuah dusta atau penipuan, oleh karenanya ia menganjurkan agar kita mulai belajar memandang lebih jeli untuk memahami bagaimana kesatuan dalam teknologi (industrial) itu sendiri, tak peduli apapun ‘nilai guna’ teknologi tersebut.

Misalnya, ketika kita menganggap bahwa mobil itu ‘netral’ karena dapat memberikan manfaat yang baik maupun buruk maka pandangan kita telah terjebak hanya dalam penggunaan mobil secara normal atau tidak normal (contoh, untuk kejahatan). Kita akan cenderung mengabaikan bahwa sedari awal industri manufaktur mobil telah menggelontorkan limbah-limbah beracun demi pengolahan bahan bakar mobil yang sehari-hari kita pakai ini. Sehingga dalam masa mendatang kita masih akan melihat dampak-dampak buruk tersebut dirasakan oleh anak cucu kita.

Sebenarnya sangat sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan atas teknologi, karena ia telah begitu melekat dalam hidup harian kita. Dan dalam beberapa fakta, alih-alih dihancurkan, produk-produk teknologi juga dapat menyerang eksistensi kapitalisme itu sendiri. Seperti kata Ani Di Franco, setiap alat adalah senjata. Tentu saja jika kita dapat menggunakannya dengan baik dan benar. Bukan kita yang dikendalikan oleh teknologi, tetapi bagaimana kita mengontrol teknologi dan memanfaatkannya sebijak mungkin demi kepentingan kita. Mungkin kita harus mengeksplorasi berbagai kemungkinan baru dalam ruang kreasi kita agar mesin-mesin pengontrol ini dapat disiasati.

**********

Pada akhirnya, karena selalu kerepotan mencari informasi, dan menurutnya juga dapat menghambat pekerjaan maka kekasih saya memutuskan untuk membeli BlackBerry, dan berencana memberikan telepon genggam lamanya untuk sang keponakan. Sebenarnya saya keberatan, toh mana mungkin tak ada alternatif lain tanpa menggunakan BlackBerry. Masih kurang efektifkah sebuah fasilitas telepon dan sms? Tapi ia tetap bersikeras.

Saya menyerah, karena memang bukan saya yang merasakan secara langsung situasi kerja disana. Akhirnya saya cuma berkomentar, “Ya udahlah, terserah kamu aja…

Lalu membatin dan ngedumel dalam hati.

Piramida dan Akar-akar Kekuasaan.

 

"Siapa saja yang masuk ke kancah kekuasaan
harus siap menyentuh najis."
— Anonimus

Kemarin lusa, ketika saya menonton berita di televisi, Adnan Buyung Nasution, yang sedang diwawancarai terkait posisinya sebagai pengacara Gayus Tambunan memberikan komentar bahwa sesungguhnya Gayus telah berusaha bekerjasama untuk membongkar seluruh oknum yang terlibat penggelapan pajak, namun ia justru semakin dikorbankan dan menjadi akal-akalan satgas hukum.

Saya hanya menanggapi dengan tawa yang bernada mengejek.

Menimpali hal ini, salah seorang teman, Ageng, yang kala itu nonton bersama saya, bertanya, “Ada nggak sih, sarjana-sarjana (hukum) yang esok masih idealis?

Saya menyadari mengapa Ageng bertanya seperti itu, dan bukankah itu pula yang menggelisahkan banyak orang. Namun, sedari dulu saya tak pernah yakin terhadap hal tersebut. Lebih baik mencurigai daripada berharap mentah-mentah. Karenanya, saya hanya menimpali lagi dengan candaan, “Kalau mau sedikit idealis, ya jadi penghulu di KUA saja.

Kami berdua hanya tertawa dengan getir.

**********

"Kekayaan tak mampu memuaskan ketamakan, 
sedangkan kekuasaan juga tidak membuat
orang mampu menguasai diri sendiri."
— Severinus Boethius

Sebuah kasus korupsi atau (misalnya) penggelapan pajak harus dipahami sebagai kerja kongkalikong yang selalu melibatkan lebih dari satu orang, mulai dari level yang paling atas, yang mendapatkan jatah paling besar, hingga level-level bawah yang pasti mendapatkan jatah lebih sedikit. Bahkan kasus-kasus kacangan semacam suap menyuap di kelurahan pun pasti ada beberapa tingkatan oknum yang terlibat.

Saya percaya kepada ultimatum Lord Acton yang termasyhur itu, bahwa kekuasaan cenderung bersifat korup, apalagi kekuasaan yang absolut, sudah pasti korup. Sehingga berbicara tentang pemberantasan korupsi maka sekaligus perlu memikirkan tentang penghapusan kekuasaan.

Bayangkan situasi seperti ini:

Si A adalah orang terpandang yang dikenal alim, jujur dan suka berderma, karena itu pula ia juga diberikan amanat untuk duduk sebagai jajaran penting di kursi pemerintahan. Ia tahu bahwa di sekelilingnya, si B, C, D dan anak-anak buahnya telah bertindak korup. Awalnya ia tetap bersikeras untuk menentang aksi korup sejawatnya itu. Tapi apakah itu gampang? Dan jika ia melawan? Apakah itu memungkinkan? Semakin lama ia pasti sadar, bahwa hanya ada tiga pilihan baginya: ikutan korupsi jika ingin tetap bekerja, melawan tapi dimusuhi teman-temannya dengan resiko dikambinghitamkan ketika kasus terungkap, atau keluar dari pekerjaan. Atau pilihan lain? Cari aman saja dengan pura-pura tidak tahu?

********** 

"Batas-batas bagi tiran ditentukan oleh ketahanan
dari orang-orang yang mereka tindas."
— Frederick Douglass

Seorang teman, Esti, yang saya anggap sebagai tipikal perempuan alim yang sederhana, penampilan apa adanya, dan tak terlalu banyak tingkah sekaligus cukup pintar. Pertengahan tahun lalu ia baru saja lulus kuliah dan langsung diterima kerja di salah satu kantor pelayanan pajak. Awalnya teman-teman yang lain melihat bahwa itu adalah keberhasilan yang dicapai Esti. Tetapi seketika ia juga membuat teman-teman keheranan, pasalnya belum satu bulan bekerja ia sudah mengundurkan diri. Apa sebab? Katanya, ia tidak kuat bekerja disana, bukan soal jam kerja atau gaji yang kurang, tapi karena perilaku korup orang-orang di kantornya. Dan itu melibatkan hampir semua pihak. Itulah kenapa ia merasa tertekan dan tidak betah sehingga langsung memutuskan untuk keluar dari lingkungan yang seperti itu. Mungkin ia menyadari bahwa jika tetap bertahan di kantor tersebut maka mau tidak mau esok ia pasti terlibat.

Lalu, bukankah dalam agama atau kepercayaan apapun sebuah tindak korupsi, penggelapan dana atau kecurangan lainnya adalah perbuatan dosa? Tapi nyatanya, sepengetahuan saya dulu Departemen Agama termasuk lembaga pemerintahan yang paling banyak memunculkan kasus korupsi. Betapa ironis.

Faktanya, perilaku korup di lembaga pemerintahan memang telah menjadi rahasia publik, tapi cuma berakhir sebagai gerutuan atau celaan dari masyarakat. Tanpa pernah kita berupaya untuk menyadari bagaimana segala hal ini bisa terjadi dengan begitu mudahnya tapi sulit dituntaskan.

Seberapa sering kamu mendengar keluhan orangtuamu tentang tingkah laku para pejabat yang menyebalkan? Atau justru kamu dan kekasihmu sendiri yang selalu mengomel? Seberapa banyak kasus korupsi yang kamu baca di koran setiap harinya? Seberapa jengkel masyarakat dengan semua ini? Kemudian, sudah berapa kali kita membongkar pasang pejabat birokrat? Berapa kali kita gonta-ganti penguasa?

Adakah perubahan? Jangan menolak jawaban ini: tidak!

Masalahnya bukan sekadar apakah para pejabat itu terdiri dari orang-orang yang alim ataupun serakah. Tapi sumber atas segala carut marut ini adalah kekuasaan itu sendiri. Saya sama sekali takkan memungkiri bahwa banyak pejabat yang sesungguhnya adalah pribadi yang baik, tapi itu takkan berpengaruh apapun semenjak ia bergabung dalam jajaran birokrasi. Dengan segera ia akan terjebak dalam lingkaran jahat yang tak mampu ia lawan, sehingga seperti apa yang saya ceritakan di awal, hanya tersedia sedikit alternatif baginya. Mungkin pilihan terbaik adalah keluar dari pekerjaan. Lalu, mampukah menanggung kebutuhan keluarga di hari esok? Alasan klise tapi gawat: kesejahteraan. Inilah yang ditakutkan banyak orang sehingga membuat kasus korupsi semakin tak terjamah.

Jangan pula berharap pada komitmen serta kecekatan aparat kepolisian dan panitera hukum yang telah kita pahami dengan baik bahwa justru merekalah pihak-pihak yang selalu melanggengkan korupsi dan kejahatan penguasa. Artinya apa?

Seperti yang diungkapkan John Holloway, seorang marxis otonomis, bahwa ada satu konsep kunci dalam sejarah kekuasaan yaitu pengkhianatan. Sebab ‘negara’ sebagai sebuah bentuk organisasi raksasa dapat memisahkan para pemimpin dari rakyatnya, hingga menyeretnya menuju langkah-langkah kooperatif dengan kapital, tunduk di bawah kepentingan para eksekutif-eksekutif korporasi.

Jika kita masih mempertahankan dan menaruh harapan pada sistem hirarkis ini, maka takkan ada nafas perubahan yang berhembus. Sepuluh kali kita memenggal para koruptor tapi seratus kali koruptor lain akan berkembang biak, ribuan kali kita mengganti penguasa maka tidak akan berubah makna, tetap “penguasa”, dan ia pasti menularkan wabah kesengsaraan.

Alkisah, Raja Asoka dari Dinasti Maurya, sang penguasa India pada masa lampau, sempat mengeluhkan bahwa di satu saat ia pernah sangat terusik oleh kekuasaannya sendiri. Kala itu Raja Asoka banyak memperoleh kemenangan hingga hampir seluruh anak benua India, mulai dari daerah Barat Laut hingga seluruh wilayah Teluk Bengali berhasil dikuasainya. Namun lama kelamaan keberadaannya sebagai penguasa serasa digugat, bukan oleh rakyat, tetapi oleh hati nuraninya sendiri. Ia merasa bahwa kekuasaan adalah sumber dari segala kekerasan yang telah ia lakukan, sekaligus akar dari kekejian dan pertikaian antar sesama.

Jadi, belum cukupkah kita mendapati kenyataan? Tak cukup sekadar mereformasi para punggawa atau paduka yang bercokol di singgasananya, karena takkan pernah membawa pengaruh yang berarti. Runtuhkan kerajaannya!

Di hadapan kita senantiasa terjulur akar-akar kekuasaan, pembuluh darah bagi penindasan yang perlu kita cabut dan patahkan satu persatu. Dan piramida raksasa yang harus segera dirubuhkan. Karena piramida ini akan menjadi lebih indah jika hanya tersisa dalam puing-puing kehancuran.

Pembeli Itu Bukan Raja, Karena Konsumen yang Baik Adalah Budak.


Lihatlah!
Betapa banyak barang yang diperlukan
orang Athena untuk hidup!
— Socrates

Setengah tahun lagi umur saya menginjak 23 tahun, beberapa tahun telah terlewat untuk menapaki masa kanak-kanak yang penuh dengan kesenangan dan ketidaktahuan akan dunia, dan hampir satu dekade lebih untuk memahami tentang bagaimana dunia ini berjalan.

Saya terlahir dari keluarga yang berkecukupan dalam hal finansial. Itu artinya, saya adalah anak yang beruntung, karena sedari kecil saya mendapatkan bermacam-macam mainan dan fasilitas dari orang tua, meskipun tentu saja tidak semua keinginan saya mampu mereka penuhi. Tapi saya tetap merasa sebagai anak yang beruntung.

Karena kondisi keluarga yang berkecukupan itulah otomatis saya juga tinggal di sebuah kompleks dimana tetangga dan teman-teman bermainku adalah anak-anak yang sama beruntungnya dengan saya. Begitu pula di lingkungan sekolah, meskipun lebih variatif, tapi mayoritas adalah yang bernasib sama seperti saya. Tak perlu lagi ditanya saat kita sedang berbincang tentang produk-produk baru, tidak kalah ketika bergosip tentang siapa cewek tercantik di sekolah, heboh bukan main, semua berebut saling bicara dan saling mendengar. Demi satu cita-cita: tidak dibilang ketinggalan jaman, gaptek atau kurang gaul!

Lingkungan seperti itulah yang selama ini saya hidupi. Semasa kuliah pun tak ada bedanya, bahkan lebih beringas, sekarang saya merasa dikelilingi oleh “papan-papan iklan berjalan”. Seringkali saya menyingkir ketika teman-teman saya mulai berbincang gadgets versi terbaru seperti BlackBerry atau Android, dan merek-merek sejenis. Bukan munafik, saya memang tidak menolak mentah-mentah teknologi beserta perangkatnya, tapi saya juga sama sekali tidak tertarik dan tidak membutuhkan panduan apapun tentang bagaimana seharusnya kita perlu menjalin komunikasi yang lebih efektif lewat BBM (BlackBerry Messenger) atau jalan pintas jejaring sosial serupa lainnya. Sesekali bermain Facebook saja sudah cukup menguras waktu saya, apalagi jika harus menuruti barang-barang yang tidak memberikan fungsi esensial apapun, selain hanya menguras isi dompet.

Tanpa kita sadari sebenarnya korporasi-korporasi tersebut memiliki agen-agen pemasaran tak resmi dan tak perlu dibayar tetapi mampu menggiring keuntungan besar, yaitu diri kita sendiri sebagai konsumen yang baik dan setia untuk membeli sekaligus berpromosi.

*********

Dibawah rezim kebudayaan kapitalis,
manusia berperilaku seperti narapidana yang mencintai
kerangkengnya karena tidak ada lagi sesuatu hal
yang bisa dicintai."
— Theodore Adorno

Wira, salah seorang teman kuliah saya, adalah anak yang cukup kaya. Dan sesungguhnya ia adalah teman yang baik, karena selama ini ia tidak pernah bermasalah denganku. Tapi memang ada satu hal yang cukup mengganggu, selain ia memang agak perhitungan, teman-temanku lainnya juga sering sekali menceritakan bahwa Wira adalah anak yang tidak mau kalah dalam soal perang gengsi, terutama menyangkut kepemilikan atas produk-produk elektronik.

Suatu ketika, Yanu, teman kuliah saya lainnya, membeli laptop Acer baru yang sama persis dengan milik Wira. Selang beberapa hari kemudian, ternyata Wira sudah membeli laptop baru dengan merek yang sama tetapi memiliki spesifikasi yang jauh lebih unggul daripada sebelumnya. Sayabenar-benar dibuat geleng kepala, teman-teman pun menyahuti agar aku tak usah heran, mereka memberitahu bahwa tabiat Wira memang demikian, ia tidak suka memiliki barang yang sama atau barang yang lebih rendahan dari teman-temannya. Karena bukan sekali ini saja terjadi, ternyata dia juga pernah langsung ‘tidak terima’ dan bergegas membeli telepon genggam baru karena mengetahui teman yang lain memiliki telepon genggam baru yang lebih canggih daripada miliknya.

Saya benar-benar tidak habis pikir melihat tingkah polah semacam ini. Tapi kenyataannya masyarakat kita memang seperti ini, bukan perilaku yang langka. Kita hidup di dunia dimana perlombaan menumpuk barang-barang (bermerek) tidak boleh kalah dengan ikhtiar menumpuk pahala, bahkan terlihat lebih gencar. Dan nampaknya kita bahagia menjalani itu semua.

Tunggu, benarkah kita bahagia? Akankah kita puas?

**********

Hidup begitu membosankan, tak ada yang dapat dilakukan selain membelanjakan seluruh upah kita untuk membeli rok ataupun kemeja keluaran terakhir. Saudara-saudari, apa yang menjadi hasrat kalian yang sesungguhnya? Duduk di dalam apotik, memandang di kejauhan, penuh kekosongan, kebosanan, minum beberapa cangkir kopi yang terasa hambar? Atau mungkin menyerangnya atau membakarnya hingga musnah!
— The Angry Brigade

Pola konsumsi modern memang tidak dapat dibandingkan dengan pola konsumsi pada masa lampau. Sebelum masa Revolusi Industri, orang-orang pada umumnya hanya memiliki satu atau beberapa potong pakaian sebagai cadangan, atau apabila ia cukup sejahtera, juga memiliki segelintir pakaian yang dapat digunakan untuk acara tertentu. Dan jumlah barang-barang yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang bukan dari golongan elit mungkin dapat dihitung dengan jari. Sedikit sekali, itupun disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehari-hari.

Lalu, di masa sekarang? Tahukah kata apa yang dipakai orang-orang untuk menyebut gaya hidup semacam itu? 

Kemiskinan. 

Ironis memang, tapi seperti itulah realitanya. Saat ini pola konsumsi menjadi lebih kompleks, ia bukanlah sekadar upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam rangka bertahan hidup, tapi lebih dari itu, ia menawarkan nilai atau imaji-imaji yang membuat orang mendapatkan sesuatu lebih dari sekadar ‘obyek’ yang dikonsumsinya. Sederhananya, ketika kita membeli mobil mewah maka secara otomatis kita juga akan mendapatkan bonus berupa prestise atau pengakuan dari masyarakat bahwa kita adalah golongan berpunya atau orang yang sukses, dan dengan segera akan memikat banyak orang lalu membuat mereka iri. Sehingga dapat dikatakan bahwa obyek-obyek yang kita beli tersebut sebenarnya juga berfungsi sebagai ‘alat’ untuk memperkuat status sosial.

Bagi kelas-kelas masyarakat yang memiliki daya beli tinggi, mungkin konsumsi artinya membeli sesuatu yang tidak memiliki esensi, jauh dari nilai guna. Inilah hasrat dan kegairahan yang kita hidupi.

Opini Jean Baudrillard nampaknya memang tepat. Bahwa sekarang ini kita bukan membeli ‘barang’ melainkan ‘simbol (tanda)’. Karena itu segala perilaku konsumsi mulai kehilangan makna akibat keganasan proses konsumsi itu sendiri yang selalu memaksa kita untuk terus membeli, membeli dan membeli.

Kita rela mengantri dan membayar mahal demi sebuah gengsi. Dan kita rela merogoh kocek lebih dalam demi barang-barang yang sesungguhnya tidak kita butuhkan.