Manusia Terpenjara.

                aku manusia yang terpenjara
                jika aku melihat keluar dari balik terali besi

angin berhembus, harum darah tercium dari sini
panas matahari mengingatkanku pada hangat peluk ibuku
air hujan ini, membawa keringat saudaraku
dan musim disini menyatu dengan gelak tawa rajaku
 
                aku manusia yang terpenjara
                jika aku melihat keluar dari balik terali besi

aku menemukan satu warna yang berbeda
lebih tinggi dan mulia
di antara warna warni kehidupanku

                kata mereka, tanahku bukan tanahnya
                lalu kenapa dia membangun istana di tempatku?

                kata mereka, kita semua adalah saudara
                lalu kenapa dia memerangi diriku?

aku manusia yang terpenjara
jika aku melihat keluar dari balik terali besi
aku selalu bertanya:

                kata mereka, hidup adalah kebebasan
                lalu kenapa aku terpenjara?

bicaralah negara,
beri aku sebuah jawaban!

Malang. 1 Februari 2011

Perangkap Ironi.


"There are no classes in life for beginners: 
right away you are always asked to deal with what is most difficult."
— Rainer Maria Rilke

Sabtu sore kemarin, Alfiah, salah seorang teman lama saya menelpon, ia bermaksud menawarkan sedikit bantuan sekaligus mengeluhkan beberapa hal. 


Dari cerita teman saya yang lainnya, sesungguhnya saya telah mengetahui bahwa Alfiah kini bekerja di salah satu bank dengan jabatan yang cukup mumpuni, namun ia mendapatkan jatah penempatan yang sangat jauh yaitu Pare-pare, Sulawesi Selatan. Dan sore itu ia bermaksud memenuhi janjinya pada saya tempo dulu. 

Sekitar tahun 2008 lalu, saya memang pernah menceritakan padanya bahwa saya kenal dengan beberapa teman yang aktif bergiat dalam pemberdayaan korban lumpur Lapindo, dan saat itu mereka sedang membutuhkan banyak bantuan untuk mengembangkan perpustakaan,  realisasi workshop, publikasi dan aktivitas-aktivitas lainnya. Setelah mendengar cerita saya, ia pun sempat mengutarakan ingin memberikan donasi, tapi karena pada waktu itu ia masih kuliah (belum punya penghasilan tetap) maka rencana itu tidak sempat terlaksana hingga hari ini. 

Namun, sungguh kebetulan bahwa di saat saya dan teman-teman di Malang sedikit gelisah memikirkan dana untuk membiayai proyek-proyek kecil kami, ternyata Alfiah bersedia memberikan donasi, sama sekali tak kusangka, ia muncul di momen yang tepat. 

Setelah mendengarkan cerita sekilas tentang aktivitas saya bersama teman-teman, ia langsung mengeluhkan banyak hal. Tentang kejenuhannya disana, jauh dari keluarga, tidak ada hiburan dan tidak ada aktivitas selain kerja. Sehingga ia sempat pergi ke Makassar dan langsung memborong 9 buah novel sekaligus demi membunuh kebosanan. Tapi yang agak membuat saya meringis adalah ketika ia mengeluh tentang urusan lelaki, alias kekasih. 

Kenalin aku sama temen-temenmu dong, serius aku bener-bener udah ngebet nikah nih sekarang, tapi sama sekali gak ada kenalan. Lha gimana lagi, tiap hari berangkat pagi pulang malem.

**********

"You will never be happy if you continue to search for what happiness consists of. You will never live if you are looking for the meaning of life."
— Albert Camus

Beberapa hari sebelumnya, saya sempat berkunjung ke rumah salah seorang teman, Taufiq. Dan kami membicarakan tentang masalah lowongan pekerjaan, karena kami berdua sama-sama masih menganggur. 


Taufiq bercerita, sewaktu ia mendengarkan presentasi sebelum mengikuti tes di salah satu bank plat merah, salah seorang pembicara menceritakan bahwa bank ini memiliki jam kerja yang paling panjang dibandingkan bank-bank lainnya, bahkan pelatihannya saja diadakan setiap hari Senin-Sabtu, tak jarang hingga larut malam. 

Cukup membuat para peserta tes tertekan. 

Menanggapi kekagetan itu, salah seorang pegawai lainnya, Mbak Duma, karyawan di bagian Human Capital, yang notabene adalah bawahan pembicara tersebut meyakinkan kepada para peserta bahwa dengan jam kerja seperti itu imbalan yang kelak diperoleh tentu saja akan maksimal. Dan agar para calon pegawai ini menjadi lebih yakin, ia pun menandaskan: no pain, no gain. 

Cukup membuat Taufiq tergoda. 

Namun, selanjutnya justru menjadi ironis. Sang atasan Mbak Duma pun membenarkan perkataannya, lalu ia mengisahkan, 

Iya bener lho, bahkan Mbak Duma ini kerjanya dari Senin-Minggu. Sampai-sampai dulu Mbak Duma juga sempet tanya ke saya: kapan ya bu saya punya pacar?

Mayday is Not (Holy) Day, Just Do It (Every) Day!


"When will they awaken to the truth? 
When will they finally have enough and spit on their masters?
 When will they rise up with one voice and say NO!? 
The answer my friends, is never."
— Patrick K. Martin

Beberapa hari lalu, saya bersama teman-teman menyempatkan diri untuk berkumpul di Kedai Sinau, agenda utama siang itu ialah membahas persiapan acara (pemutaran film, musik akustik, FNB, pameran dan beberapa workshop) atas nama kolektif kami yang baru saja terbangun beberapa bulan ke belakang. Rapat tersebut berlangsung sangat cepat, selebihnya adalah berdebat tentang judul acara dan bercanda. Lalu, diakhiri dengan makan bakso sembari menikmati hujan sore dan pulang ke rumah masing-masing. 


Di antara berbagai hal tidak serius yang kami perbincangkan, sempat ada satu topik serius yang kami bicarakan sekilas, tentang Mayday dan kesadaran pekerja (buruh). Salah seorang teman, Kucing, yang sempat menjadi partisipan LMND semasa mahasiswa dulu bercerita tentang pengalamannya ketika melakukan long march untuk memperingati May Day bersama para buruh di Malang, yang tentu saja dipimpin oleh organ-organ Kiri. Setelah berkeliling di jalanan kota maka aktivitas finalnya adalah berhenti kemudian jagongan di satu tempat yang telah dipadati gerobak makanan. Dan tentu saja pesta hari itu benar-benar tidak memberikan makna apa-apa bagi para peserta aksi, ya karena bagi mereka Mayday hanyalah sekadar momentum perayaan dalam satu hari. Selanjutnya pulang ke rumah masing-masing, karena esok pagi harus kembali bekerja seperti biasanya, dan menabung yang rajin untuk berbelanja seperti biasanya. 

Seusai Kucing bercerita, Aswin nyeletuk, mengapa para pekerja ini tidak menyadari betapa krusialnya posisi mereka, dan betapa mereka telah begitu tertindas. 

Saya pun mengajukan pernyataan, “Kalau mereka merasa bahwa tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka, lantas apa yang harus disadari? Tidak ada. Kecuali mungkin di saat-saat mereka dihadapkan pada ancaman pemecatan kerja. 

Untuk menggambarkan secara sempurna bagaimana keadaan ini, maka saya mengutip eksplanasi panjang Morpheus kepada Neo saat menguraikan tentang dunia Matrix (yang dalam bahasa Indonesia dapat diibaratkan sebagai dunia maya atau ilusi): 

Matrix adalah sistem, Neo. Sistem itulah musuh kita. Namun ketika kau ada di dalamnya, pandangi sekelilingmu, apa yang kau lihat? Pengusaha, guru, pengacara, tukang kayu. Benak orang-orang yang coba kita selamatkan itu sendiri. Namun sebelum kita berhasil, orang-orang ini masih menjadi bagian dari sistem dan itulah yang menjadikan mereka musuh kita. Kau harus paham, kebanyakan orang tidak siap untuk dicabut. Dan banyak di antara mereka yang begitu betah, begitu mati-matian bergantung pada sistem, bahkan sampai mereka rela berjuang untuk melindunginya. 

Atau dengan gambaran yang lebih kasar, bisa jadi para buruh sebenarnya menyukai kapitalisme. Benarkah? 

Jika dirunut ke belakang, maka rumusan Morpheus (yang berangkat dari tesis Jean Baudrillard dalam bukunya “Simulacra and Simulation”) ini dapat dilacak melalui pemikiran Guy Debord, sang ‘pemimpin’ gerombolan Situasionis International yang menjadi salah satu pemicu Pemberontakan Paris 1968. Ia memaparkan dengan njelimet bahwa segala segi kehidupan manusia telah dikurung ke dalam satu kerangka yang disebut spectacle atau Dunia Tontonan. Dimana “tontonan” ini menyajikan ‘ilusi-ilusi’ tentang hidup sehingga pada akhirnya mampu membuat masyarakat terus terlelap dan tidak mampu terbangun dari ‘mimpi buruk’ tersebut. 

Dunia Tontonan, inilah dunia dimana pasar mengontrol eksistensi kita. Entah itu melalui televisi, radio, komputer, atau bentuk-bentuk teknologi lainnya. Segala yang kita lihat tidaklah nyata, sebuah dunia yang memaksa kita untuk tetap setia ‘menonton’, diam dan tunduk terhadap komoditas-komoditas yang dijejalkan ke hadapan kita terus menerus. Seperti para pria yang hanya merasa macho ketika berhasil memiliki perut six pack, atau para wanita yang hanya merasa cantik ketika telah memakai kosmetik atau tas-tas bermerek keluaran terbaru. Jadi janganlah heran kenapa banyak bermunculan sepatu Nike atau tas Louis Vuitton palsu, tentu saja diperuntukkan bagi mereka yang ingin terlihat kaya dan keren tapi tidak punya uang! 

Dalam bentuk yang lain, seorang pemuda yang ingin sekali jago bermain skateboard tapi sekali pun tidak pernah menyentuh papan skateboard selain hanya memainkan ‘kenyataan’ dalam dunia game “Tony Hawk: Pro Skater”. Ia akan menghabiskan waktunya dengan sebuah aktivitas pasif, yang berarti non-aktivitas. 

Atau iklan-iklan yang telah mendunia seperti: Hei belilah kaos bergambar Che Guevara, makanlah sayur-sayuran organik dan koleksilah buku-buku Karl Marx jika kamu ingin terlihat sebagai pemberontak revolusioner! 

Imaji-imaji tersebut ditampilkan sebagai sesuatu yang harus kita raih demi mendapatkan kesenangan, kebahagiaan atau nilai-nilai ideal. Padahal faktanya, justru hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang esensial bagi hidup kita. Untuk melepaskan diri dari “dunia ilusi” tersebut maka kita perlu mengenali diri sendiri dan mimpi-mimpi kita sekaligus mewaspadai serta memberikan filter terhadap segala macam hal yang hadir di hadapan indera manusiawi kita.

**********

To call on people to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions."
— Karl Marx

Kapitalisme telah berhasil membentuk bangsa pekerja yang tak menyukai pekerjaan mereka, dan yang selalu berharap bahwa ‘tanggal merah’ akan lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, selama mereka mendapatkan gaji yang layak untuk membeli barang-barang yang mereka inginkan maka apa perlunya mereka marah pada sistem yang menghidupinya ini? 

Di lain pihak, mereka yang merasa ‘tercerahkan’ dan memiliki hasrat untuk menawarkan perspektif alternatif bagi orang lain (atau angkat senjata seperti Morpheus, Neo, Trinity dan kawan-kawannya) maka secara otomatis akan berdiri berseberangan dengan ‘masyarakat umum’. Atau yang biasa dicemooh oleh kaum counter-culture sebagai “massa”, alias para domba tersesat yang perlu dibimbing oleh sistem untuk menuju kebahagiaan hidup. 

Artinya, perlukah menjadi vanguard atau pemimpin bagi massa agar dapat mengatur dan memupuk kesadaran orang-orang tersebut? Menjadi hero bagi mereka? 

Tidak, jelas kita tidak perlu merepetisi momen-momen seperti yang dialami Kucing beberapa tahun ke belakang. Sudah terbukti bahwa aksi semacam itu tak ada gunanya semenjak massa hanya dimanfaatkan demi kepentingan segelintir orang (seperti halnya Pemilu sebagai ilusi demokrasi). Kekuatan besar akan lahir jika setiap orang menyadari kekuatannya sendiri hingga mampu melihat jeruji-jeruji yang melingkari hidup hariannya. Seperti halnya aksi para Piqueteros ketika menjarah pertokoan, mengambilalih pusat-pusat produksi kemudian mendistribusikan makanan ke berbagai tempat kala Pemberontakan Argentina 2001. 

Atau bayangkan betapa menakjubkan jika suatu saat para pekerja berani berkata seperti Tyler Durden dan rekan-rekannya ketika menyekap sang bos: 

"The people you are after are the people you depend on.
We cook your meals.
We haul your trash.
We connect your calls.
We drive your ambulances.
We guard you while you sleep.
 Do not fuck with us!"

    Catat!
Sesungguhnya Mayday bukanlah ‘hari buruh’ atau hanya milik mereka
yang terkungkung dalam tembok-tembok pabrik. Mayday adalah hari perjuangan
bagi seluruh proletariat, yaitu kita semua yang tidak memiliki kendali penuh
atas hidup kita akibat dominasi kapital, mulai dari para pelajar, pengangguran,
petani, majikan kerah putih hingga ibu-ibu rumah tangga yang tak dapat
beranjak dari dapur karena beban moral terhadap suami dan anak. 
Hari ini, semua orang adalah Neo!

“Earth Hour”: Kampanye “Green Capitalism” Paling Populer Hari Ini


We are the super species on Earth
but also the biggest trouble makers.
— Dalai Lama

We’re so self-important. So self-important. Everybody’s going to save something now. ‘Save the trees, save the bees, save the whales, save those snails. And the greatest arrogance of all: save the planet. What? Are these fucking people kidding me? Save the planet, we don’t even know how to take care of ourselves yet. We haven’t learned how to care for one another, we’re gonna save the fucking planet?
— George Carlin, Saving the Planet

“Ini aksiku, mana aksimu?”
“Tunjukkan aksimu di Earth Hour 2012!”


Beberapa minggu belakangan slogan kampanye yang awalnya dideklarasikan WWF Australia itu banyak tersebar di media massa, menjelang 31 Maret 2012 masyarakat di berbagai belahan negara dibombardir iklan tersebut demi kelancaran sebuah kegiatan ‘mematikan listrik selama satu jam setiap satu tahun’ yang diklaim sebagai aksi kepedulian terbesar dalam sejarah guna mencegah perubahan iklim global.

Sedikit saya ceritakan, World Wildlife Fund (WWF) adalah sebuah organisasi lingkungan yang disponsori Walmart, Nike, IBM, Bank of America, J.P. Morgan, DuPont, Coca-Cola, HSBC, Citigroup, Ikea, Phillip Morris, dan beberapa lainnya. Tahukah kamu? Korporasi-korporasi raksasa tersebut adalah pihak-pihak yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik bagi masyarakat dunia, sesungguhnya mereka inilah yang menyebabkan ketimpangan sosial dan kesengsaraan di berbagai tempat.

Pada November 2009, lebih dari 80 organisasi lingkungan dunia dari 31 negara sepakat menandatangani petisi untuk mengecam prakarsa WWF yang berjudul “Roundtable on Sustainable Palm Oil”. Petisi tersebut menyatakan bahwa keterlibatan WWF telah ditunggangi oleh korporasi-korporasi perminyakan guna memberikan justifikasi terhadap pembangunan pusat-pusat kilang minyak di Eropa.

Tidakkah kamu merasa aneh dengan aksi berkedok environmentalisme semacam ini? Tentu saja, sebuah penipuan global atas nama globalisasi.
 

Dalam FAQs (Frequently Asked Questions)-nya, WWF mendeskripsikan:
 

“Earth Hour akan mempertontonkan bagaimana dunia mengalami kegelapan selama satu jam. Dimana ratusan juta orang yang berasal dari segala macam ras, agama, budaya, masyarakat, generasi dan geografi, berkomitmen mematikan lampu mereka dalam perayaan global untuk melindungi sesuatu yang menyatukan kita semua—planet.”

Dan pernyataan lanjutan lainnya:

“Earth Hour hanya meminta orang-orang untuk mematikan penerangan yang non-esensial selama satu jam—bukan penerangan yang mempengaruhi keamanan publik. Earth Hour juga merupakan sebuah perayaan dari planet kita, jadi ini penting untuk menikmati momen dimana kita berada dalam sebuah lingkungan yang aman.”

Ada yang janggal, hanya mematikan sumber daya yang tidak esensial? Ya. Oleh karenanya jangan berharap lebih bahwa Earth Hour dapat memberikan dampak yang esensial bagi dunia. Aksi semacam Earth Hour ini ibarat merenovasi rumah yang baru saja roboh diterjang banjir tanpa memperbaiki lalu memperkokoh struktur pondasinya, tentu saja di kemudian hari rumah tersebut akan roboh kembali.

Dan yang lebih menggelikan, WWF menghimbau pada distrik atau kota-kota yang ingin berpartisipasi dalam Earth Hour agar mendaftar terlebih dahulu dalam situsnya, dan pendaftaran ini hanya dapat dilakukan oleh pejabat kota yang berwenang.

Untuk apa semua ini? Agar nampak luar biasa dan heboh?

Apa yang dapat diharapkan dari “festival kegelapan” ini? Apakah kita berpikir bahwa korporasi-korporasi tersebut peduli terhadap planet ini? Apakah mereka benar-benar peduli terhadap masyarakat dunia? Apakah mereka benar-benar peduli terhadap lingkungan? Sementara justru mereka yang selama ini menjadi biang keladi atas segala macam skandal kekejaman, perampasan, kerusakan dan perang sosial dimana-mana?

Saya tidak bilang bahwa aksi semacam ini sama sekali tidak ada gunanya, tentu saja akan ada penghematan. Tetapi sejauh mana efektivitas yang dihasilkan setelah lewat satu jam? Listrik kembali menyala, dan semua warga kembali berpesta! Selain itu, aksi semacam ini tidak akan berarti sama sekali semenjak sistem industrialisasi di dunia ini telah mengeksploitasi habis-habisan segala sumber daya dimanapun, dan menciptakan manipulasi dan kekacauan sepanjang sejarah. Solusi nyata tidak terletak pada keterlibatan korporasi ataupun pemerintah, karena faktanya perkawinan antara keduanya hanya membuahkan regulasi-regulasi yang selama ini menyokong kepentingan politik-ekonomi mereka sendiri dan menghempaskan masyarakat secara telak dalam kondisi ketidakberdayaan.

**********

"The Earth isn’t dying, it’s being killed,
and those who are killing it have names and addresses."
— Utah Philips

Isu-isu lingkungan sekarang ini makin santer diperbincangkan, dan terutama makin laku semenjak Al Gore (mantan wakil Presiden AS) menggebrak dunia melalui film dokumenternya berjudul “An Inconvenient Truth” yang memenangkan banyak penghargaan bergengsi. Isu-isu tersebut memang sangat kompleks, beberapa masalah dapat berhubungan langsung dengan perubahan iklim, tetapi beberapa tidak. Namun, sangat penting bagi kita untuk mengaitkan antar tiap masalah tersebut, karena pada dasarnya semua masalah lingkungan yang kita hadapi sekarang ini disebabkan oleh ekspansi kapital, komodifikasi dan privatisasi. Bukan berarti korporasi tidak menyadari bahwa isu-isu ini dapat mengganggu kelancaran operasi bisnis mereka, namun lebih jauh, mereka justru telah memanfaatkan isu-isu lingkungan ini demi kepentingan mereka sendiri. Sekarang mereka lebih lihai untuk menggunakan retorika-retorika environmentalisme palsu demi kelanjutan siklus produksi dan eksploitasinya. Inilah manifestasi nyata dari peribahasa lama “ada udang di balik batu”.

Satu jam dalam kegelapan untuk menyelamatkan bumi? Ah, sepertinya ada nama yang lebih cocok untuk aksi ini: kapitalisme hijau!

Bagaimana dengan ancaman nyata yang dihadapi sistem ekologi di wilayah sekitar kita sekarang? Bagaimana dengan polusi pabrik yang kita jumpai setiap hari? Bagaimana dengan industri nuklir yang meledak di Chernobyl maupun Fukushima? Bagaimana dengan eksploitasi uranium yang tiada henti di negara-negara Timur Tengah? Bagaimana dengan modifikasi genetika terhadap tumbuhan dan hewan yang berarti merekayasa spesies alami di planet ini? Bagaimana dengan mega-industri seperti Monsanto yang meracuni makanan kita sehari-hari dengan herbisida dan pestisida? Bagaimana dengan perdagangan bebas yang selama ini banyak dipuja ternyata malah mencecerkan limbah dimana-mana, mulai dari luberan minyak di lepas pantai Alaska hingga kubangan lumpur raksasa di Porong?

Jika kamu mau menelaah lebih jeli, sesungguhnya korporasi-korporasi inilah yang berkuasa atas planet yang kita tinggali ini. Bukan negara, presiden, perdana menteri, pemerintah kota ataupun para pemuka agama. Lalu, bersediakah korporasi-korporasi ini terhambat proses bisnisnya?

Tentu saja tidak. Oleh karena itu kita hanya disuruh mematikan listrik selama 1 jam!

Selamat datang dalam kampanya terbesar kapitalisme hijau, sebuah aksi cuci tangan dan cuci otak oleh para korporasi dunia melalui propaganda WWF!

Saya sendiri menjumpai sebuah pemandangan ganjil di Surabaya, di sebuah mall bernama Grand City terdapat billboard besar tentang aksi Earth Hour serta monumen “Save Our Earth” milik WWF, lalu di dalam mall tersebut juga terdapat stan milik WWF. Bagaimana bisa organisasi ini ada disana? Tentu saja hasil dukungan serta sokongan dana yang besar dari korporasi-korporasi yang berpengaruh. Tidakkah masuk akal kegusaran saya ini? Entah di kota lain, apakah ada pemandangan serupa. Ini sangatlah tidak wajar, jika WWF benar-benar berkomitmen terhadap aksi enviromentalisme lalu mengapa mereka memilih untuk menggelar kampanye di tempat dimana setiap harinya terjadi transaksi konsumtif besar-besaran, yang di dalamnya diisi oleh gerai-gerai besar. Dan pusat perbelanjaan? Bukankah sebuah tempat yang banyak menghabiskan energi, terutama listrik.

Jika kenyataannya kamu selalu mengeluh saat PLN melakukan pemadaman bergilir, lalu kenapa sekarang kamu tampak begitu antusias mematikan listrik selama satu jam? Apakah karena aksi Earth Hour sekarang ini begitu ngetren hingga kamu juga ingin nampak keren ketika ikut mempromosikannya? Earth Hour telah diadakan sejak tahun 2007, telat sekali kamu! Lalu apa aksi ini memberikan dampak besar? Sekarang konsumsi listrik di berbagai belahan dunia justru semakin buas!

Meskipun orang-orang akan mendapatkan perasaan positif dan sedikit meningkatkan kesadaran mereka saat mencoba berpartisipasi dalam Earth Hour, namun sesungguhnya kita semua dibuat terlena. Kampanye yang terselenggara atas sponsor korporasi-korporasi perusak lingkungan ini menciptakan harapan palsu, bahwa perubahan iklim global dapat dicegah hanya dengan penghematan listrik.

Saya sama sekali tidak antipati terhadap gerakan penghematan maupun konversi energi, namun cobalah kamu berpikir dan menelaah lebih jeli mulai sekarang. Dunia yang kamu tinggali ini berjalan dalam sebuah sistem yang dikendalikan segelintir penguasa yang mencari keuntungan. Kapitalisme menyebabkan dampak kompleks yang kadang tidak kentara, bahkan kita menganggapnya sebagai sesuatu yang normal, padahal berbahaya. Jika kamu benar-benar ingin memberikan kontribusi terhadap lingkunganmu maka pelajarilah bagaimana kapitalisme dan korporasi bekerja, bagaimana negara dan aparat menjaga kekuasaan, bagaimana hukum dan kontrak sosial diberlakukan. Bagaimana alur eksploitasi alam yang terjadi di daerahmu, dan mengapa sampai sekarang sering terjadi perang sosial dimana-mana, padahal kita mengklaim bahwa peradaban semakin maju. Saya berani jamin, kesimpulan terakhir yang kamu temukan: dunia sedang tidak baik-baik saja!

Untuk menghentikan semua kerusakan ini, serang di tempat yang mematikan!

Jika kamu peduli dengan lingkungan, maka tetap nyalakan listrik di saat Earth Hour nanti atau tahun-tahun berikutnya, jangan mudah termakan kampanye yang kelihatannya baik. Gunakan waktumu untuk membaca lalu diskusi bersama teman-temanmu agar dapat mengasah pemikiran dan analisismu. Lakukan investigasi hingga kamu tidak akan mudah percaya terhadap aksi-aksi environmentalisme palsu yang disebarkan organisasi-organisasi seperti WWF yang pada kenyataannya telah dibajak demi menutupi kebobrokan proses bisnis korporasi-korporasi dunia. Dan ketika kamu memikirkannya lebih jauh maka kamu akan menyadari bahwa partisipasi aktif di lingkungan lokal untuk membangun komunitasmu sendiri akan lebih berarti daripada membuang waktu selama 1 jam untuk berpartisipasi pasif dalam perayaan kegelapan setahun sekali ini.

Percayalah, Earth Hour adalah lelucon menggelikan sebagaimana kita mengharapkan Dinasti Bakrie untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo, atau menuntut Freeport untuk segera hengkang dari tanah kaum adat Papua. Mengharapkan aksi nyata dari pemerintah dunia beserta korporasi-korporasi yang selama ini berafiliasi dengan mereka untuk meminta maaf lalu menyelesaikan problema-problema yang sesungguhnya hasil perbuatan mereka sendiri tak lebih dari sekadar mimpi di siang bolong!

Dan lagi-lagi guyonan satir George Carlin, standing comedian asal Amerika yang telah meninggal tahun 2008 lalu ini akan membuat kita tertawa miris:


 Besides, there is nothing wrong with the planet. 
Nothing wrong with the planet. 
The PLANET is fine.
The PEOPLE are fucked!


Sumber lain tentang kasus penipuan WWF:
http://www.dw.de/dw/article/1/0,,15255247,00.html


* tulisan ini awalnya saya buat saat menanggapi Earth Hour 2011, dan sekarang telah saya beri sedikit tambahan.