Celoteh Ini Senjata Kami!


 "Kita ada di tengah puing, kita mulai membangun habitat baru kecil-kecilan, untuk mendapatkan harapan baru sedikit-sedikit."
D.H. Lawrence, Lady Chatterley's Lover

Kemarin malam, saya iseng membongkar album foto di komputer. Dan, saya menemukan foto anak-anak ini. Mereka adalah anak-anak yang kampungnya terkena dampak Lumpur Lapindo. Mereka bergabung dalam Sanggar Al-Faz, yang berlokasi di Desa Besuki, tepatnya di rumah Cak Irsyad. Foto tersebut saya ambil pada tahun 2011, saat ada perayaan "Hari Anak Nasional". Kebetulan saya dan beberapa teman ikut berpartisipasi disana untuk workshop sablon cukil (woodcut) dan sekadar membantu apapun sebisanya. 

Acara itu mengambil jargon: celoteh ini senjata kami! 



Senjata, sebuah alat untuk menyerang, melukai, menikam, atau apapun yang bersifat melumpuhkan lawan. Senjata mengisyaratkan banyak kepentingan. Dan seringkali nampak menyeramkan bahkan di saat pemegangnya adalah orang-orang baik yang ingin membela diri. Namun hari itu, di tangan sekumpulan anak-anak korban Lumpur Lapindo, "senjata" bertransformasi menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. Sebab ia tampil sebagai sesuatu yang riang, melalui celoteh anak-anak yang tak putus harapan meski hari-hari dan masa depan mereka tampak suram. 

Mungkin di saat seperti inilah kredo "menjadi tua itu membosankan" bakal terdengar lebih galak. Anak-anak ini seperti menyuntikkan semangat, kekuatan dan keyakinan bagi orang-orang dewasa yang mulai tertatih, anak-anak ini menciptakan keceriaan di tengah kehancuran. Bahkan lebih daripada itu, celoteh anak-anak ini seakan menampar keangkuhan masyarakat modern yang melupakan gejolak-gejolak sosial di sekitar kesehariannya. Sekumpulan massa yang cuma jadi penonton.

Kita begitu gencar menyuarakan keprihatinan dan kecaman ketika rakyat Palestina digempur militer Israel. Bantuan mengalir dari berbagai penjuru, bahkan ada orang-orang yang siap dikirim untuk mati syahid disana. Apa yang terjadi di Palestina selama bertahun-tahun memang mengerikan, tragedi kemanusiaan yang layak menerima solidaritas internasional. Namun ironis, situasi pelik di Porong yang sudah akut ini justru perlahan mulai terlupakan. Kita seakan mati kutu menghadapi permasalahan di lingkungan kita sendiri, alih-alih turun tangan, kita hanya mampu menitipkan umpatan ketika menghadapi kemacetan di sekitar area terdampak Lumpur Lapindo.



Apakah anak-anak ini telah merasakan momen apokaliptik sebelum waktunya? Bisa jadi. Di saat impian-impian belum tuntas mereka tegakkan, seketika diruntuhkan, mereka dipaksa untuk kuat menghadapi ancaman korporasi yang bermain kotor di kampung halamannya. Mereka kehilangan rumah, kawan dan keluarga. Beberapa hari ini kita turut prihatin melihat warga Jakarta kelimpungan menghadapi banjir. Kita menyaksikan bagaimana Jakarta, kata seorang kawan, sedang membunuh dirinya sendiri pelan-pelan. Sementara nasib anak-anak ini lebih di ujung tanduk, 6 tahun ditipu dan ditelantarkan, bergelut dengan kubangan lumpur yang perlahan-lahan menggerogoti tanah bermain mereka seperti jamur raksasa.

Ada pesan yang cukup termasyhur tentang keyakinan akan perubahan. Bahwa masa depan belumlah tertulis. Sebab pena ada di genggaman setiap orang, tergantung pada kita untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih baik, yang dibangun dari kebebasan dan solidaritas.



Sama sekali bukan perkara susah untuk merasakan betapa mirisnya hari-hari yang mereka lalui. Sesederhana ketika kotak makanmu dicuri orang lain. Sesederhana ketika mobilmu lecet karena diserempet orang lain. Sesederhana ketika tempat dudukmu di kereta direbut orang lain. Sesederhana ketika antrianmu di bioskop diserobot orang lain.

Bagaimana perasaanmu?