Kehidupan yang Tidak Diperiksa Adalah Kehidupan yang Tidak Layak Dijalani!



"Kebijaksanaan sejati datang ke masing-masing diri kita saat kita menyadari betapa sedikit kita memahami tentang kehidupan, diri kita sendiri, dan dunia di sekitar kita."
— Socrates

"Seorang filsuf: yaitu orang yang selalu mengalami, melihat, mendengar, mencurigai, berharap dan membayangkan hal-hal luar biasa; yang terpesona oleh pikirannya sendiri seakan-akan pikiran itu berasal dari luar, dari atas, atau dari bawah; yang mungkin dirinya menjadi badai topan, yang berkeliaran dengan membawa kilat baru; seseorang yang tidak menyenangkan, mondar-mandir sambil meraung, menggerutu. Seorang filsuf: ya ampun, makhluk yang seringkali lari dari dirinya sendiri, takut pada dirinya sendiri, namun terlalu ingin tahu untuk tidak 'sampai pada dirinya sendiri'..."
— Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil: Aforisme 292


Aku pikir ada satu kesamaan nasib antara Nietzsche dan Socrates: kematian yang dihadapi secara tragis.

Socrates, ia adalah pria tua yang senang berkeliling di keramaian kota Athena. Setiap hari ia mengajak orang berdiskusi, di pasar, di taman, di jalan-jalan, dan selalu cerewet mengajukan pertanyaan, yang sengaja ia lakukan—untuk menguji kedalaman sekaligus kemerdekaan berpikir. Itulah apa yang sekarang kita kenal dengan 'berfilsafat'. Kita tahu akibat kesehariannya ini ia dituduh sesat oleh sebagian masyarakat, dan berujung pada eksekusi mati. Meskipun pengadilan menawarkan opsi kepada Socrates untuk eksil ke kota lain, tetapi dengan keteguhan hati ia memilih menenggak racun cemara. Ia memilih mati menjadi martir, demi kebenaran dan kehendak bebasnya sendiri.

Nietzsche, banyak orang bilang ia adalah palu godam di masanya, ia adalah pemberontak, ia adalah suara ganjil, bahkan banyak pula yang menyebutnya dinamit. Bagaimana tidak, semasa hidupnya Nietzsche menguliti borok-borok di dalam agama, pengetahuan, seni, bahasa dan bermacam bidang lainnya. Ia berteriak sinis pada institusi kekuasaan, ia mendobrak segala kebiasaan umum masyarakat. Dan, hidupnya berujung pada kegilaan, sebelum akhirnya mati tanpa sempat menikmati kemasyhuran.

**********

Peradaban sudah bergerak jauh dibandingkan era Nietzsche, apalagi Socrates. Tentu banyak sekali perubahan besar, yang mungkin oleh masyarakat terdahulu tak sempat diimajinasikan. Hari ini, ada negara, ada pemerintah, ada kebijakan politik, ada tatanan masyarakat yang terlihat lebih bebas dan demokratis, namun sesungguhnya amat bersifat koersif.

Hidup semakin banyak alternatif, yang artinya semakin banyak pula kebutuhan-kebutuhan yang tidak dibutuhkan.

Pelajaran dari kedua filsuf tersebut, yang rentang masa hidupnya terpaut ratusan abad, sesungguhnya masih relevan untuk digunakan menghantam kehidupan harian kita di masa kini. Sebab rutinitas peradaban modern agaknya telah membuat kita melupakan pertanyaan-pertanyaan krusial mengenai bagaimana manusia itu sebenarnya.

Seandainya kita tahu apa yang kita lakukan?
Seandainya kita tahu apa yang kita inginkan?

Seorang kawan, sejak kecil ingin menjadi musisi tapi tidak pernah bisa mewujudkannya karena tidak diizinkan orang tua. Seorang kawan lagi, bermimpi menjadi dokter tapi ternyata berakhir menjadi buruh pabrik karena tidak punya biaya untuk sekolah. Seorang kawan lainnya, berpotensi menjadi pelukis tapi sang calon istri menuntutnya berkarir sebagai pegawai kantoran. Aku sendiri, ingin menjadi penyair, memang ada duitnya?

Banyak sekali kerumitan, banyak sekali hambatan. Seolah-olah kita tak tahu apa yang sesungguhnya benar-benar ingin kita lakukan untuk diri kita sendiri, sebagai diri kita sendiri. Terkadang kita melakukan segala aktivitas hanya karena orang lain telah melakukannya, atau karena orang lain ingin kita melakukannya. Kita tak lagi tahu diri kita sendiri, apa keinginan kita dan siapa sesungguhnya kita.

Jika sudah seperti itu, seberapa banyak kebahagiaan yang bisa kita rengkuh?

Semuanya menjadi serba seragam, kita kehilangan keunikan atas diri kita sendiri. Seolah-olah ada begitu banyak komando yang datang dari luar untuk kita taati. Tak lagi bebas mengekspresikan diri, tak lagi merdeka untuk berlari kesana kemari, serupa domba yang digembalakan.