"Mahasiswa menjadi menjijikkan bukan hanya karena kelemahan mereka, tetapi juga karena kepuasan diri mereka sendiri dan kecenderungan mereka yang tak sehat untuk berkubang dalam alienasi, berharap hal tersebut akan menjadi menarik di tengah ketidakmenarikan mereka. Mahasiswa adalah budak-budak yang sabar, dimana semakin banyak rantai otoritas yang mengikat maka semakin mereka merasa bebas. Seperti halnya keluarga baru mereka, universitas. Mereka menganggap diri mereka sebagai kalangan spesialis yang paling independen, padahal nyatanya, mereka secara langsung dan sukarela bersikap patuh pada dua sistem otoritas sosial yang terkuat: keluarga dan negara. Mahasiswa adalah anak yang patuh dan penurut. Mengikuti logika anak penurut, mereka membagi segala nilai dan mistifikasi sistem serta mengonsentrasikannya ke dalam diri mereka sendiri."
Cuplikan di atas berasal dari pamflet gerombolan Situationist International dan mahasiswa radikal University of Strasbourg berjudul 'On the Poverty of Student Life', diedarkan tahun 1966 yang kemudian menjadi salah satu pemicu Pemberontakan Paris '68.
Ya!
'Mahasiswa' adalah status kebanggaan sebab konon katanya mengemban tugas sebagai pembawa perubahan. Mitos? Tentu saja. Tidak perlu kita merasa berdosa untuk menyebut sesungguhnya kampus adalah refleksi atas apa yang terjadi di luar sana. Sehingga kita tidak perlu heran pula melihat masyarakat masih memisahkan politik dari kehidupan, padahal 'politik' adalah pemikiran sekaligus aksi yang kita jalani sehari-hari, tetapi kemudian direduksi menjadi sekadar berpartisipasi dalam pemilihan umum. Karena kalangan yang katanya paling intelektual inipun juga tak pernah menyadari seberapa pentingnya peran politis mereka. Agaknya mahasiswa juga telanjur lupa ingatan bahwa selepas dari kampus dengan segera mereka akan bergabung bersama kelas-kelas yang tertindas: menjadi sekrup kapital, dimapankan lalu dikebiri.
Vice versa!