"When will they awaken to the truth?
When will they finally have enough and spit on their masters?
When will they rise up with one voice and say NO!?
The answer my friends, is never."
— Patrick K. Martin
Beberapa hari lalu, saya bersama teman-teman menyempatkan diri untuk
berkumpul di Kedai Sinau, agenda utama siang itu ialah membahas
persiapan acara (pemutaran film, musik akustik, FNB, pameran dan
beberapa workshop) atas nama kolektif kami yang baru saja
terbangun beberapa bulan ke belakang. Rapat tersebut berlangsung sangat
cepat, selebihnya adalah berdebat tentang judul acara dan bercanda.
Lalu, diakhiri dengan makan bakso sembari menikmati hujan sore dan
pulang ke rumah masing-masing.
Di antara berbagai hal tidak serius yang kami perbincangkan, sempat ada
satu topik serius yang kami bicarakan sekilas, tentang Mayday dan
kesadaran pekerja (buruh). Salah seorang teman, Kucing, yang sempat
menjadi partisipan LMND semasa mahasiswa dulu bercerita tentang
pengalamannya ketika melakukan long march untuk memperingati May
Day bersama para buruh di Malang, yang tentu saja dipimpin oleh
organ-organ Kiri. Setelah berkeliling di jalanan kota maka aktivitas
finalnya adalah berhenti kemudian jagongan di satu tempat yang telah dipadati gerobak makanan. Dan tentu saja pesta
hari itu benar-benar tidak memberikan makna apa-apa bagi para peserta
aksi, ya karena bagi mereka Mayday hanyalah sekadar momentum perayaan dalam satu hari.
Selanjutnya pulang ke rumah masing-masing, karena esok pagi harus
kembali bekerja seperti biasanya, dan menabung yang rajin untuk
berbelanja seperti biasanya.
Seusai Kucing bercerita, Aswin nyeletuk, mengapa para pekerja ini tidak
menyadari betapa krusialnya posisi mereka, dan betapa mereka telah
begitu tertindas.
Saya pun mengajukan pernyataan, “Kalau
mereka merasa bahwa tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka,
lantas apa yang harus disadari? Tidak ada. Kecuali mungkin di saat-saat
mereka dihadapkan pada ancaman pemecatan kerja.”
Untuk menggambarkan secara sempurna bagaimana keadaan ini, maka saya mengutip eksplanasi panjang Morpheus kepada Neo saat menguraikan tentang dunia Matrix (yang dalam bahasa Indonesia dapat diibaratkan sebagai dunia
maya atau ilusi):
“Matrix
adalah sistem, Neo. Sistem itulah musuh kita. Namun ketika kau ada di
dalamnya, pandangi sekelilingmu, apa yang kau lihat? Pengusaha, guru,
pengacara, tukang kayu. Benak orang-orang yang coba kita selamatkan itu
sendiri. Namun sebelum kita berhasil, orang-orang ini masih menjadi
bagian dari sistem dan itulah yang menjadikan mereka musuh kita. Kau
harus paham, kebanyakan orang tidak siap untuk dicabut. Dan banyak di
antara mereka yang begitu betah, begitu mati-matian bergantung pada
sistem, bahkan sampai mereka rela berjuang untuk melindunginya.”
Atau dengan gambaran yang lebih kasar, bisa jadi para buruh sebenarnya menyukai kapitalisme. Benarkah?
Jika dirunut ke belakang, maka rumusan Morpheus (yang berangkat dari tesis Jean Baudrillard dalam bukunya “Simulacra and Simulation”)
ini dapat dilacak melalui pemikiran Guy Debord, sang ‘pemimpin’
gerombolan Situasionis International yang menjadi salah satu pemicu
Pemberontakan Paris 1968. Ia memaparkan dengan njelimet bahwa segala
segi kehidupan manusia telah dikurung ke dalam satu kerangka yang
disebut spectacle atau Dunia Tontonan. Dimana “tontonan” ini
menyajikan ‘ilusi-ilusi’ tentang hidup sehingga pada akhirnya mampu
membuat masyarakat terus terlelap dan tidak mampu terbangun dari ‘mimpi
buruk’ tersebut.
Dunia Tontonan, inilah dunia dimana pasar mengontrol eksistensi kita.
Entah itu melalui televisi, radio, komputer, atau bentuk-bentuk
teknologi lainnya. Segala yang kita lihat tidaklah nyata, sebuah dunia
yang memaksa kita untuk tetap setia ‘menonton’, diam dan tunduk terhadap
komoditas-komoditas yang dijejalkan ke hadapan kita terus menerus.
Seperti para pria yang hanya merasa macho ketika berhasil memiliki perut six pack,
atau para wanita yang hanya merasa cantik ketika telah memakai kosmetik
atau tas-tas bermerek keluaran terbaru. Jadi janganlah heran kenapa
banyak bermunculan sepatu Nike atau tas Louis Vuitton palsu, tentu saja
diperuntukkan bagi mereka yang ingin terlihat kaya dan keren tapi tidak punya uang!
Dalam bentuk yang lain, seorang pemuda yang ingin sekali jago bermain skateboard tapi sekali pun tidak pernah menyentuh papan skateboard selain hanya memainkan ‘kenyataan’ dalam dunia game “Tony Hawk: Pro Skater”. Ia akan menghabiskan waktunya dengan sebuah aktivitas pasif, yang berarti non-aktivitas.
Atau iklan-iklan yang telah mendunia seperti: Hei
belilah kaos bergambar Che Guevara, makanlah sayur-sayuran organik dan
koleksilah buku-buku Karl Marx jika kamu ingin terlihat sebagai
pemberontak revolusioner!
Imaji-imaji tersebut ditampilkan sebagai sesuatu yang harus kita raih
demi mendapatkan kesenangan, kebahagiaan atau nilai-nilai ideal. Padahal
faktanya, justru hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang esensial bagi
hidup kita. Untuk melepaskan diri dari “dunia ilusi” tersebut maka kita
perlu mengenali diri sendiri dan mimpi-mimpi kita sekaligus mewaspadai
serta memberikan filter terhadap segala macam hal yang hadir di hadapan indera manusiawi kita.
**********
“To call on people to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions."
— Karl Marx
Kapitalisme telah berhasil membentuk bangsa pekerja yang tak menyukai
pekerjaan mereka, dan yang selalu berharap bahwa ‘tanggal merah’ akan
lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, selama mereka
mendapatkan gaji yang layak untuk membeli barang-barang yang mereka
inginkan maka apa perlunya mereka marah pada sistem yang menghidupinya
ini?
Di lain pihak, mereka yang merasa ‘tercerahkan’ dan memiliki hasrat
untuk menawarkan perspektif alternatif bagi orang lain (atau angkat
senjata seperti Morpheus, Neo, Trinity dan kawan-kawannya) maka secara
otomatis akan berdiri berseberangan dengan ‘masyarakat umum’. Atau yang
biasa dicemooh oleh kaum counter-culture sebagai “massa”, alias para domba tersesat yang perlu dibimbing oleh sistem untuk menuju kebahagiaan hidup.
Artinya, perlukah menjadi vanguard atau pemimpin bagi massa agar dapat mengatur dan memupuk kesadaran orang-orang tersebut? Menjadi hero bagi mereka?
Tidak, jelas kita tidak perlu merepetisi momen-momen seperti yang
dialami Kucing beberapa tahun ke belakang. Sudah terbukti bahwa aksi
semacam itu tak ada gunanya semenjak massa hanya dimanfaatkan demi
kepentingan segelintir orang (seperti halnya Pemilu sebagai ilusi
demokrasi). Kekuatan besar akan lahir jika setiap orang menyadari
kekuatannya sendiri hingga mampu melihat jeruji-jeruji yang melingkari
hidup hariannya. Seperti halnya aksi para Piqueteros ketika menjarah
pertokoan, mengambilalih pusat-pusat produksi kemudian mendistribusikan
makanan ke berbagai tempat kala Pemberontakan Argentina 2001.
Atau bayangkan betapa menakjubkan jika suatu saat para pekerja berani
berkata seperti Tyler Durden dan rekan-rekannya ketika menyekap sang
bos:
"The people you are after are the people you depend on.
We cook your meals.
We haul your trash.
We connect your calls.
We drive your ambulances.
We guard you while you sleep.
Do not fuck with us!"
Catat!
Sesungguhnya Mayday bukanlah ‘hari buruh’ atau hanya milik mereka
yang terkungkung dalam tembok-tembok pabrik. Mayday adalah hari perjuangan
bagi seluruh proletariat, yaitu kita semua yang tidak memiliki kendali penuh
atas hidup kita akibat dominasi kapital, mulai dari para pelajar, pengangguran,
petani, majikan kerah putih hingga ibu-ibu rumah tangga yang tak dapat
beranjak dari dapur karena beban moral terhadap suami dan anak.
Hari ini, semua orang adalah Neo!