“Tidak, apa yang mencemaskanku adalah bahwa dalam beberapa hal aku dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan ini dan kemudian merasa nyaman di dalamnya, sehingga tidak lagi marah terhadapnya. Dan yang aku takutkan adalah ketika pada tahun-tahun mendatang di saat aku mungkin lupa, aku mulai kehilangan kenanganku terhadap pegunungan atau hutan-hutan, serta kehilangan rasa kepekaan terhadap alam liar. Tetapi aku takkan takut jika mereka akan mematahkan semangatku.”
— Ted Kaczynski
Seminggu belakangan, terjadi tiga kali teror bom buku dalam kurun waktu yang hampir bersamaan hingga mendadak menyita perhatian publik Indonesia. Teror bom buku tersebut dikirim kepada tiga orang yang berbeda, yang pertama adalah Ulil Abshar Abdalla, orang penting Jaringan Islam Liberal. Yang kedua adalah Gories Mere, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BNN. Dan yang ketiga dikirim pada Japto Soerjosoemarno, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP).
Ada satu persamaan dalam tiga bom buku tersebut: stidak mengenai target.
Akibat peristiwa ini saya jadi teringat dengan ulah ‘sang teroris’ yang dijuluki media massa Amerika dengan nama “Unabomber”. Salah seorang yang pernah menjadi target utama dan menghabiskan biaya investigasi paling mahal dalam sejarah FBI.
‘Sang teroris’ memiliki nama asli Theodore John Kaczynski (Ted), seorang pakar matematika yang jenius. Di masa sekolah, ia sempat menjalani beberapa akselerasi kelas, dan pada usia 16 tahun ia telah diterima Universitas Harvard. Lalu mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Michigan dan kemudian menjadi asisten profesor di Universitas California Berkeley pada umur 25 tahun, namun ia mengundurkan diri 2 tahun berikutnya.
Tahun 1971, saat berumur 29 tahun, Ted pindah ke hutan di kawasan Lincoln, Montana, kemudian membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggalnya, hidup sendiri tanpa menggunakan listrik maupun teknologi modern lainnya.
Ted memutuskan untuk melakukan aksi-aksi kampanye bom setelah melihat alam liar di sekitar lingkungan rumahnya mulai tergerus oleh pembangunan dan eksploitasi industri. Mulai dari 1978 hingga 1995, ia mengirimkan 16 bom kepada berbagai macam target, yaitu orang-orang yang ia anggap sebagai ‘pemicu’, ‘pengembang’ atau ‘pelindung’ industrialisasi, termasuk beberapa profesor teknik, bos korporat, pemilik toko komputer dan penerbangan di Amerika, membuat 3 orang terbunuh dan 23 orang mengalami cedera. Itulah alasan mengapa ia dijuluki Unabomber (University and Airline Bomber) oleh FBI dan media massa sebelum jati dirinya teridentifikasi. Dan informasi atas dirinya pernah dihargai sebesar 1 juta dolar sehingga membuatnya jadi rebutan publik Amerika Serikat.
Pada 24 April 1995, Ted mengirim surat kepada The New York Times, ia berjanji jika The New York Times ataupun The Washington Post bersedia mempublikasikan manifestonya maka ia akan ‘berhenti dari aksi terorisme’. Bahkan majalah porno Penthouse juga pernah sukarela menawarkan publikasi, namun ditolak mentah-mentah olehnya. Di dalam manifesto yang berjudul “Industrial Society and Its Future” ini Ted berargumen bahwa aksi yang ia lakukan memang ekstrim tetapi itu merupakan taktik yang sangat diperlukan demi menarik perhatian masyarakat atas semakin terkikisnya kebebasan dan otonomi manusia akibat teknologi modern.
Ironisnya, keberhasilan penangkapan Ted Kaczynski (yang kemudian juga sempat diduga sebagai pembunuh berantai terkenal di Amerika berjuluk “Zodiac Killer”) justru berawal dari saudara laki-lakinya sendiri, David Kaczynski, yang mengenali tulisan tangan Ted dalam manifesto tersebut (setelah dipublikasikan) dan kemudian membantu investigasi FBI. Hingga hari ini, Ted masih mendekam di penjara Colorado dengan keamanan super-maksimum, dihukum seumur hidup tanpa ada kemungkinan bebas dengan jaminan. Sedangkan gubuk yang ia bangun di hutan Montana masih diabadikan di salah satu museum di Amerika Serikat.
**********
“Kita semua berada disini, di bumi.
Dan tak ada seorangpun dari kita yang memiliki hak atasnya.”
— Benjamin Tucker
Seperti halnya kita pahami, tidak mungkin diingkari bahwa teknologi memang dapat mengistirahatkan manusia dari kerja-kerja berat sehingga kehidupan pun juga dapat menjadi lebih mudah (dalam beberapa hal). Namun persoalan utama yang seringkali luput diperhatikan ialah kapitalisme sebagai sebuah sistem yang sekarang ini merajai dunia memiliki karakteristik yang tak dapat digugat yaitu menuhankan laba. Sehingga perkembangan teknologi perlu digenjot terus menerus demi ekspansi kapital. Kasarnya, teknologi dibutuhkan demi efisiensi, dan kapital dibutuhkan demi pengembangan teknologi, jadi keduanya saling dependen. Artinya, ini berbahaya bagi umat manusia, tetapi sesungguhnya juga mengandung bahaya bagi kapitalisme sendiri, karena jika salah satu dihancurkan maka sistem industrialisasi yang eksploitatif ini juga lebih rentan untuk diruntuhkan.
Dalam bahasa Herbert Marcuse, teknologi lebih dari sekadar perkakas, melainkan ideologi dan pranata sosial baru yang tumbuh begitu cepat. Contoh paling gamblang dapat kita amati melalui teknologi informasi, yang termanifestasi ke dalam wujud hegemoni media massa. Ia adalah maha-kreator yang cenderung manipulatif, penjaja berita maupun hiburan yang mampu menanamkan nilai-nilai baru yang kemudian banyak disepakati oleh masyarakat sehingga kemudian tercipta lifestyles baru yang non-esensial. Belum lagi jika perkembangan teknologi ini mulai banyak tingkah melalui pola-pola industrial yang semakin memicu kehancuran alam. Secara cepat ia juga mampu membangun ‘penjara-penjara’ psikis bagi manusia. Oleh karena itu, sesungguhnya teknologi berperan aktif sebagai alat doktrin yang sah dalam kerangka kapitalis.
Berangkat dari titik inilah maka kita dapat memahami apa yang diyakini oleh Ted Kaczynski, ia sendiri juga mengakui bahwa apa yang memotivasinya melakukan aksi pengeboman tersebut pertama-tama bukanlah berasal dari segala macam teori yang mengkritisi sistem industrialisasi dan kebudayaan yang pernah ia baca (seperti karangan Jacques Ellul, Eric Hoffer, Neil Postman ataupun Edward Abbey), namun ketika menyaksikan sendiri saat mesin-mesin industrial tersebut mulai merobek pepohonan dan menghancurkan alam di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Masyarakat industrial-teknologikal takkan dapat direformasi. Jika ingin mengembalikan harga diri serta otonomi manusia sekaligus mempertahankan keberlanjutan ekologi maka sesegera mungkin sistem ini harus dilenyapkan.
Ataukah kita justru merasakan ‘kebebasan penuh’ di saat kerja-kerja bahkan aktivitas keseharian manusia telah digantikan oleh robot, seperti dalam film “Surrogates”?
Selain itu, bukankah sungguh mengerikan jika kita harus hidup dalam situasi seperti apa yang diwartakan oleh gerakan Zeitgeist melalui Venus Project-nya, yaitu penataan ulang kehidupan sosial di dalam kerangka teknologi? Artinya para teknokrat ini menyajikan sebuah blue print atas masa depan umat manusia yang dikuasai oleh keberadaan teknologi dalam kerja-kerja keseharian.
Lalu apa yang harus kita kerjakan?
Duduk sepanjang hari mengontrol mesin-mesin? Tergeletak di depan televisi sembari digerayangi alat-alat pijat otomatis? Bermain sepakbola melawan para robot? Atau malah memodifikasi mereka menjadi alat senggama yang tak lelah mendesah?
Pikirkan jawabannya sembari menonton film “The Matrix”. Karena itu, agaknya tidak berlebihan jika saat ini kita berbisik:
Panjang umur Theodore…