Mimpi yang Terkepal di Antara Segenggam Kebencian.


It’s a mystery to me.
We have a greed to which we have agree.
And you think you have to want more than you need.
Do you have it all want be free.
Society you’re crazy breed.
Hope you’re not lonely without me.
— Eddie Vedder, Society

Belakangan ini saya sibuk berkeliaran di kampus, mengurusi segala macam tetek bengek persiapan ujian komprehensif (istilah untuk menyebut sidang skripsi) yang sangat menyita waktu. Betapa tidak, saya harus menunggu dosen tanpa kepastian apakah dosen tersebut akan datang atau tidak. Satu hari, nihil. Dua hari, nihil. Tiga hari, tetap nihil. Baru hari keempat ada sedikit kemajuan, dan untunglah dapat terselesaikan di hari-hari berikutnya.

Rutinitas ruwet seperti ini begitu membosankan, apalagi tanpa ada teman. Lebih dari separuh mahasiswa angkatan saya telah lulus, hanya beberapa gelintir saja yang saya lihat di kampus, nampaknya mereka juga memiliki kesibukan yang sama seperti saya. Faedahnya, urusan-urusan semacam ini memang berkhasiat untuk semakin merekatkan hubungan pertemanan. Dari yang semula tidak kenal menjadi kenal, dan tidak akrab menjadi tambah akrab. Tentu saja, karena ‘persamaan nasib di ujung tanduk’.

Jika semuanya lancar, maka beberapa minggu lagi di jidat saya akan tertempel sebuah label permanen bertuliskan “fresh graduate”. Dan beberapa bulan lagi saya akan diwisuda, itu artinya saya harus sesegera mungkin mulai mencari pekerjaan.

Menjelang saat-saat itu, belakangan juga membuat saya sering teringat petualangan si Christopher (a.k.a Alexander Supertramp) yang kisah nyatanya diuraikan kembali dalam buku dan film berjudul “Into the Wild”.

Berisi cerita tentang Christopher Johnson McCandless, seorang anak muda broken home. Chris berontak dari kemauan orangtuanya jika sudah lulus kuliah maka ia harus memiliki karir yang cemerlang demi masa depannya. Chris berpandangan lain, rupanya setelah membaca banyak buku karangan humanis seperti Leo Tolstoy, Dr. Zhivago maupun Henry David Thoreau, ia mendapati bahwa hidup bahagia tidaklah melulu berkaitan dengan uang. Dan agaknya kemuakan itu juga diperkuat oleh pertengkaran orang tuanya yang semakin menjadi-jadi justru di saat karir keduanya mencapai tampuk kegemilangan.

Selepas wisuda dari University of Emory, Chris memutuskan untuk mendonasikan seluruh uang tabungan yang seharusnya ia gunakan sebagai biaya pendaftaran ke Fakultas Hukum Harvard, kepada Oxfam America. Selanjutnya ia menghilang tanpa kabar dan pergi berpetualang sendirian. Ia melalui banyak hal, mulai dari membantu para pekerja ladang jagung, bertemu para backpacker dan komunitas hippies, berbagi rasa dengan gadis muda yang jago bermain musik folk, tertangkap polisi perbatasan, dihajar petugas kereta api, ditawari adopsi oleh seorang kakek veteran tentara, hingga akhirnya sampai pada tujuan utama perjalanannya: Alaska.

Puncaknya, setelah beberapa bulan hidup di tengah hutan Alaska, ia kelaparan karena tidak menemukan satupun binatang untuk diburu. Dan memaksanya memilih tumbuhan liar untuk dimakan, tapi naas, ia salah pilih tumbuhan sehingga membuat dirinya keracunan, lumpuh, dan akhirnya mati terkapar di dalam “magic bus” (sampai sekarang saya masih penasaran, bagaimana bisa ada bus nangkring di tengah hutan Alaska?)

Tragis memang, di tengah rencana kepulangannya, petualangan Chris justru harus berakhir dengan mengenaskan. Tapi setidaknya ia mati di saat menjalani proses mencari esensi kehidupan sesuai yang selama ini ia idam-idamkan, yaitu apa yang ia sebut sebagai “revolusi spiritual”, sebuah pertarungan puncak untuk membunuh kepalsuan yang ada dalam diri, dan menuju kebebasan.

Bukan di tengah kebosanan dan keterpaksaan di bawah ketiak modernisasi.

**********

""We do not lack communication,
on the contrary we have too much of it.
We lack creation. We lack resistance to the present."
— Gilles Deleuze & Felix Guattari

Jujur saya akui bahwa kisah si Alexander Supertramp ini memang memikat dan menginspirasi. Memberikan pencerahan dan perspektif baru dalam menyikapi hidup. Membuat saya iri dengan segala keberanian yang dimilikinya untuk menempuh puluhan resiko yang tak dapat terprediksikan. Begitu pula teman-teman saya, banyak dari mereka yang terpesona dengan kisah ini. Terutama mereka yang memang menyukai suasana alam liar. Dan di satu sisi, menyimpan kebencian terhadap masyarakat modern.

Mungkin, kamu akan bertanya-tanya:

Kenapa pula harus begitu membenci kehidupan modern? Dan lagi-lagi, kenapa saya harus menyumpahi masyarakat modern? Bukankah mereka menyukai ini? Bukankah ini yang mereka harapkan, sebuah mimpi peralihan dari era kuno menuju era yang lebih maju dan sejahtera? Sebuah pencapaian umat manusia, yaitu peradaban modern.

Oke. Sekarang giliran saya mengajukan pertanyaan:

“Kemajuan dan kesejahteraan” seperti apa yang kamu maksud?

Bagi saya adalah suatu kesalahan fatal jika harus mengamini pembangunan yang berarti perampasan tanah demi estetika kota, penetrasi alam demi akumulasi modal, pendidikan kaum adat demi budaya kerja dan konsumtif, parade filantropis demi kamuflase ekonomis, pembentukan birokrasi demi tatanan demokratis, serta segala macam otorisasi dan dominasi yang akhirnya selalu berujung pada penindasan, penghisapan, degradasi serta pemiskinan massal.

Sudahkah kamu mengerti?

Kesemrawutan dan keganasan-keganasan inilah yang pada akhirnya membuat banyak orang begitu membenci kehidupan modern. Tak sedikit dari mereka yang berupaya keras untuk sejenak menghilang dari lingkup harian seperti ini. Mungkin itu jugalah yang sempat dirasakan orang-orang seperti Christopher, Ted Kaczynski, Subcomandante Marcos, Butet Manurung dan mereka-mereka yang berusaha menghidupi hidup di luar perangkap modernisasi.

Karena itu, bukankah sekarang lebih tepat jika saya mengajukan pertanyaan ini:

“Kemajuan dan kesejahteraan” siapa yang kamu maksud?

0 komentar:

Posting Komentar