Pembeli Itu Bukan Raja, Karena Konsumen yang Baik Adalah Budak.


Lihatlah!
Betapa banyak barang yang diperlukan
orang Athena untuk hidup!
— Socrates

Setengah tahun lagi umur saya menginjak 23 tahun, beberapa tahun telah terlewat untuk menapaki masa kanak-kanak yang penuh dengan kesenangan dan ketidaktahuan akan dunia, dan hampir satu dekade lebih untuk memahami tentang bagaimana dunia ini berjalan.

Saya terlahir dari keluarga yang berkecukupan dalam hal finansial. Itu artinya, saya adalah anak yang beruntung, karena sedari kecil saya mendapatkan bermacam-macam mainan dan fasilitas dari orang tua, meskipun tentu saja tidak semua keinginan saya mampu mereka penuhi. Tapi saya tetap merasa sebagai anak yang beruntung.

Karena kondisi keluarga yang berkecukupan itulah otomatis saya juga tinggal di sebuah kompleks dimana tetangga dan teman-teman bermainku adalah anak-anak yang sama beruntungnya dengan saya. Begitu pula di lingkungan sekolah, meskipun lebih variatif, tapi mayoritas adalah yang bernasib sama seperti saya. Tak perlu lagi ditanya saat kita sedang berbincang tentang produk-produk baru, tidak kalah ketika bergosip tentang siapa cewek tercantik di sekolah, heboh bukan main, semua berebut saling bicara dan saling mendengar. Demi satu cita-cita: tidak dibilang ketinggalan jaman, gaptek atau kurang gaul!

Lingkungan seperti itulah yang selama ini saya hidupi. Semasa kuliah pun tak ada bedanya, bahkan lebih beringas, sekarang saya merasa dikelilingi oleh “papan-papan iklan berjalan”. Seringkali saya menyingkir ketika teman-teman saya mulai berbincang gadgets versi terbaru seperti BlackBerry atau Android, dan merek-merek sejenis. Bukan munafik, saya memang tidak menolak mentah-mentah teknologi beserta perangkatnya, tapi saya juga sama sekali tidak tertarik dan tidak membutuhkan panduan apapun tentang bagaimana seharusnya kita perlu menjalin komunikasi yang lebih efektif lewat BBM (BlackBerry Messenger) atau jalan pintas jejaring sosial serupa lainnya. Sesekali bermain Facebook saja sudah cukup menguras waktu saya, apalagi jika harus menuruti barang-barang yang tidak memberikan fungsi esensial apapun, selain hanya menguras isi dompet.

Tanpa kita sadari sebenarnya korporasi-korporasi tersebut memiliki agen-agen pemasaran tak resmi dan tak perlu dibayar tetapi mampu menggiring keuntungan besar, yaitu diri kita sendiri sebagai konsumen yang baik dan setia untuk membeli sekaligus berpromosi.

*********

Dibawah rezim kebudayaan kapitalis,
manusia berperilaku seperti narapidana yang mencintai
kerangkengnya karena tidak ada lagi sesuatu hal
yang bisa dicintai."
— Theodore Adorno

Wira, salah seorang teman kuliah saya, adalah anak yang cukup kaya. Dan sesungguhnya ia adalah teman yang baik, karena selama ini ia tidak pernah bermasalah denganku. Tapi memang ada satu hal yang cukup mengganggu, selain ia memang agak perhitungan, teman-temanku lainnya juga sering sekali menceritakan bahwa Wira adalah anak yang tidak mau kalah dalam soal perang gengsi, terutama menyangkut kepemilikan atas produk-produk elektronik.

Suatu ketika, Yanu, teman kuliah saya lainnya, membeli laptop Acer baru yang sama persis dengan milik Wira. Selang beberapa hari kemudian, ternyata Wira sudah membeli laptop baru dengan merek yang sama tetapi memiliki spesifikasi yang jauh lebih unggul daripada sebelumnya. Sayabenar-benar dibuat geleng kepala, teman-teman pun menyahuti agar aku tak usah heran, mereka memberitahu bahwa tabiat Wira memang demikian, ia tidak suka memiliki barang yang sama atau barang yang lebih rendahan dari teman-temannya. Karena bukan sekali ini saja terjadi, ternyata dia juga pernah langsung ‘tidak terima’ dan bergegas membeli telepon genggam baru karena mengetahui teman yang lain memiliki telepon genggam baru yang lebih canggih daripada miliknya.

Saya benar-benar tidak habis pikir melihat tingkah polah semacam ini. Tapi kenyataannya masyarakat kita memang seperti ini, bukan perilaku yang langka. Kita hidup di dunia dimana perlombaan menumpuk barang-barang (bermerek) tidak boleh kalah dengan ikhtiar menumpuk pahala, bahkan terlihat lebih gencar. Dan nampaknya kita bahagia menjalani itu semua.

Tunggu, benarkah kita bahagia? Akankah kita puas?

**********

Hidup begitu membosankan, tak ada yang dapat dilakukan selain membelanjakan seluruh upah kita untuk membeli rok ataupun kemeja keluaran terakhir. Saudara-saudari, apa yang menjadi hasrat kalian yang sesungguhnya? Duduk di dalam apotik, memandang di kejauhan, penuh kekosongan, kebosanan, minum beberapa cangkir kopi yang terasa hambar? Atau mungkin menyerangnya atau membakarnya hingga musnah!
— The Angry Brigade

Pola konsumsi modern memang tidak dapat dibandingkan dengan pola konsumsi pada masa lampau. Sebelum masa Revolusi Industri, orang-orang pada umumnya hanya memiliki satu atau beberapa potong pakaian sebagai cadangan, atau apabila ia cukup sejahtera, juga memiliki segelintir pakaian yang dapat digunakan untuk acara tertentu. Dan jumlah barang-barang yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang bukan dari golongan elit mungkin dapat dihitung dengan jari. Sedikit sekali, itupun disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehari-hari.

Lalu, di masa sekarang? Tahukah kata apa yang dipakai orang-orang untuk menyebut gaya hidup semacam itu? 

Kemiskinan. 

Ironis memang, tapi seperti itulah realitanya. Saat ini pola konsumsi menjadi lebih kompleks, ia bukanlah sekadar upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam rangka bertahan hidup, tapi lebih dari itu, ia menawarkan nilai atau imaji-imaji yang membuat orang mendapatkan sesuatu lebih dari sekadar ‘obyek’ yang dikonsumsinya. Sederhananya, ketika kita membeli mobil mewah maka secara otomatis kita juga akan mendapatkan bonus berupa prestise atau pengakuan dari masyarakat bahwa kita adalah golongan berpunya atau orang yang sukses, dan dengan segera akan memikat banyak orang lalu membuat mereka iri. Sehingga dapat dikatakan bahwa obyek-obyek yang kita beli tersebut sebenarnya juga berfungsi sebagai ‘alat’ untuk memperkuat status sosial.

Bagi kelas-kelas masyarakat yang memiliki daya beli tinggi, mungkin konsumsi artinya membeli sesuatu yang tidak memiliki esensi, jauh dari nilai guna. Inilah hasrat dan kegairahan yang kita hidupi.

Opini Jean Baudrillard nampaknya memang tepat. Bahwa sekarang ini kita bukan membeli ‘barang’ melainkan ‘simbol (tanda)’. Karena itu segala perilaku konsumsi mulai kehilangan makna akibat keganasan proses konsumsi itu sendiri yang selalu memaksa kita untuk terus membeli, membeli dan membeli.

Kita rela mengantri dan membayar mahal demi sebuah gengsi. Dan kita rela merogoh kocek lebih dalam demi barang-barang yang sesungguhnya tidak kita butuhkan.

0 komentar:

Posting Komentar