Instrumen Teknologi: Sebuah Kegilaan yang Mengancam.


"When you let the machines take control almost all parts of your life, you’ll lost your humanity. Gradually, you’ll become one of them.
— Green Anarchy

Saling menelepon adalah agenda rutin tiap malam bagi saya dan kekasih saya, bahkan seringkali kami telepon saat larut malam hingga salah satu tertidur dan kemudian hanya terdengar dengkuran di gagang telepon. Sungguh mengenaskan, kami berdua harus pacaran melalui mediasi seonggok mesin bernama telepon genggam.

Tapi tak banyak cara yang mampu kami lakukan, ini memang satu-satunya alternatif agar kami bisa tetap berkomunikasi. Jakarta-Malang terlalu jauh untuk kami tempuh dalam periode yang kontinyu, sehingga membutuhkan waktu luang yang cukup lama agar kami dapat saling mengunjungi dan menghabiskan waktu berdua. Dan waktu luang (sekaligus uang) inilah yang sangat jarang kami miliki.

Belakangan ini, kekasih saya yang notabene pegawai baru di TransTV, sangat sering bercerita panjang lebar tentang betapa parahnya para pegawai disana. Hampir semua memiliki BlackBerry, belum lagi ditambah satu telepon genggam lain dengan merek berbeda. Kondisi kerja disana seakan-akan memang menuntut para pegawainya untuk memiliki BlackBerry. Bagaimana tidak? Tiap ada agenda rapat, memo atau informasi-informasi lainnya selalu disebarkan lewat BBM, sehingga mereka yang tidak memiliki BlackBerry tentu saja bakal kewalahan.

Lucu? Sesungguhnya memuakkan.

Ia juga sering mengeluh karena kerap diacuhkan oleh teman-temannya yang sedang keranjingan gadget satu ini. Contohnya, ketika sedang nongkrong bersama di satu tempat makan dan duduk melingkar di satu meja sembari menunggu makanan datang, mereka justru tidak saling ngobrol tetapi asyik sendiri ber-BBM ria bersama seseorang yang sesungguhnya berada nun jauh disana.

Akibat kondisi kerja (mungkin juga karena gengsi) maka satu-persatu teman kerjanya mulai mengganti telepon genggam lamanya dengan BlackBerry. Alhasil sekarang hanya tersisa segelintir orang yang tidak memiliki BlackBerry, termasuk kekasih saya. Hingga kerapkali ia juga diledeki teman-temannya. Saya tahu ledekan itu hanya bercanda, tapi saya pikir telah begitu keterlaluan ketika seseorang diledek terus menerus hanya karena tidak memiliki produk-produk yang up-to-date. Bukannya saya membela kekasih saya, tapi apakah kamu tidak merasa bahwa segala macam kekisruhan akibat tuntutan gaya hidup ini semakin tidak masuk akal?

Inilah apa yang disebut Karl Marx sebagai fetisisme komoditi, dimana benda, benda dan benda menjadi semacam ‘berhala’ baru bagi masyarakat, ia telah menjelma menjadi candu atau sesuatu-yang-suci-yang-tak-boleh-disepelekan.

**********

"While I am still of flesh and blood and can still discover and connect to my passions and dreams, I am sure that I am not a Machine, I am a human being."
— Mia X. Kursions

Tak dapat disanggah bahwa teknologi mampu menghadirkan sejuta kemudahan yang sebelumnya mungkin tak pernah terbayangkan. Kadangkala saya sendiri pun juga merasa kerepotan ketika harus mengerjakan aktivitas tanpa bantuan perangkat-perangkat elektronik. Teknologi ibarat ‘tuhan’ baru bagi umat manusia. Instrumen teknologi yang kita nikmati sekarang ini memang mempermudah banyak pekerjaan. Tapi di satu sisi, kita juga tak dapat mengelak dari eksternalitas negatif yang menyertainya, seperti bagaimana ia justru sangat berpotensi untuk menyeret manusia menuju alam keterasingan (alienasi), dan melenyapkan aktivitas-aktivitas yang benar-benar nyata tanpa determinasi produk-produk teknologi.

Contoh sederhana saja:

Kita lupa bagaimana capeknya berjalan kaki karena kemana-mana selalu mengendarai mobil atau sepeda motor, kita lupa bagaimana nikmatnya menulis dengan tangan karena telah begitu terbiasa mengetik lewat komputer, kita lupa rasanya cedera akibat bermain bola karena terlalu banyak berkutat di depan gamePro Evolution Soccer“, kita lupa keluar rumah untuk menyapa tetangga dan bermain dengan teman-teman karena malas beranjak dari depan televisi, dan seringkali kita juga lupa bagaimana asyiknya berkenalan kemudian ngobrol langsung dengan orang asing di sekitar kita karena terlalu asyik mengutak-atik telepon genggam untuk sekadar meng-update status atau berbalas wall di Facebook dan menjadi follower para selebritis di Twitter? 

Kita justru sibuk bergaul dengan mesin, bukan sesama kita.

Secara personal tentu saja saya tidak menolak kehadiran dan fungsionalitas teknologi. Bagi saya teknologi memang memberikan banyak manfaat yang sesungguhnya dapat digunakan secara maksimal tanpa perlu mengalami ketergantungan akut terhadapnya. Lagipula bukankah kita juga dapat mengakalinya demi sesuatu yang lebih baik?

Sebagai contoh, internet memang candu yang kuat tetapi juga jangan lupakan bahwa melalui media ini kita dapat mengakses segala macam informasi yang sebelumnya sulit untuk kita jangkau, dan juga jangan remehkan tentang perannya yang sangat vital dalam memperkuat jejaring antar komunitas global. Berapa banyak dari kita yang terinspirasi gelombang protes di Seattle, Praha, Paris, Oaxaca, Vancouver hingga Athena? Jika bukan karena teknologi, bagaimana mungkin kita dapat mendapatkan gambaran tentang semua resistensi itu? Dan tanpa bantuan teknologi, bagaimana mungkin pula resistensi tersebut dapat diinisiasikan kemudian percikan apinya juga meletup di berbagai penjuru dunia?

Namun, peningkatan intensitas komunikasi dan penguatan jejaring pemberontakan tersebut tentunya juga tidak boleh mengecohkan kita dari kenyataan bahwa internet telah memberikan kontribusi masif bagi laju korporasi-korporasi raksasa maupun segelintir kapitalis dan para spekulan di berbagai penjuru dunia.

Menghadapi dualitas tersebut, Ran Prieur, salah seorang kontributor majalah Green Anarchy, menegaskan bahwa sesungguhnya teknologi sama sekali tidak bersifat netral. Yaitu “netral” dalam artian dapat memberikan kebaikan atau keburukan berdasarkan tujuan penggunaannya. Baginya itu adalah sebuah dusta atau penipuan, oleh karenanya ia menganjurkan agar kita mulai belajar memandang lebih jeli untuk memahami bagaimana kesatuan dalam teknologi (industrial) itu sendiri, tak peduli apapun ‘nilai guna’ teknologi tersebut.

Misalnya, ketika kita menganggap bahwa mobil itu ‘netral’ karena dapat memberikan manfaat yang baik maupun buruk maka pandangan kita telah terjebak hanya dalam penggunaan mobil secara normal atau tidak normal (contoh, untuk kejahatan). Kita akan cenderung mengabaikan bahwa sedari awal industri manufaktur mobil telah menggelontorkan limbah-limbah beracun demi pengolahan bahan bakar mobil yang sehari-hari kita pakai ini. Sehingga dalam masa mendatang kita masih akan melihat dampak-dampak buruk tersebut dirasakan oleh anak cucu kita.

Sebenarnya sangat sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan atas teknologi, karena ia telah begitu melekat dalam hidup harian kita. Dan dalam beberapa fakta, alih-alih dihancurkan, produk-produk teknologi juga dapat menyerang eksistensi kapitalisme itu sendiri. Seperti kata Ani Di Franco, setiap alat adalah senjata. Tentu saja jika kita dapat menggunakannya dengan baik dan benar. Bukan kita yang dikendalikan oleh teknologi, tetapi bagaimana kita mengontrol teknologi dan memanfaatkannya sebijak mungkin demi kepentingan kita. Mungkin kita harus mengeksplorasi berbagai kemungkinan baru dalam ruang kreasi kita agar mesin-mesin pengontrol ini dapat disiasati.

**********

Pada akhirnya, karena selalu kerepotan mencari informasi, dan menurutnya juga dapat menghambat pekerjaan maka kekasih saya memutuskan untuk membeli BlackBerry, dan berencana memberikan telepon genggam lamanya untuk sang keponakan. Sebenarnya saya keberatan, toh mana mungkin tak ada alternatif lain tanpa menggunakan BlackBerry. Masih kurang efektifkah sebuah fasilitas telepon dan sms? Tapi ia tetap bersikeras.

Saya menyerah, karena memang bukan saya yang merasakan secara langsung situasi kerja disana. Akhirnya saya cuma berkomentar, “Ya udahlah, terserah kamu aja…

Lalu membatin dan ngedumel dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar