Mak Pon.

 

Selama masyarakat terbentuk oleh uang,
kita tidak pernah merasa cukup akan hal itu.
— Selebaran saat Pemogokan Paris 1995

Sosoknya sudah sangat renta, saya taksir umurnya di atas 75 tahun, namun ia tetap cekatan ketika mengiris dan mengolah isi serta mengulek bumbu rujak. Ia tinggal tidak jauh dari kontrakan saya, hanya butuh waktu 2 menit untuk berjalan kaki.

Para tetangga memanggilnya Mak Pon.

Saya tidak terlalu tahu tentang keluarganya, karena biasanya di dalam rumahnya juga sepi. Hanya kadangkala ada anak muda yang menyablon di salah satu sudut rumah. Ya, sepertinya ada satu ruangan khusus untuk tempat sablon. Rumahnya sangat sederhana, tipikal rumah jaman dahulu, dan jelas tidak pernah terjamah renovasi. Di samping rumah, terdapat ruangan berukuran 2x3 meter yang terbuat dari gedek (tembok bambu) yang sudah usang, disanalah ia bekerja sehari-hari.

Sudah lebih dari 3 tahun ini saya selalu membeli rujak disana, selain dekat, tak ada lagi alasan krusial bagi mahasiswa rantau seperti saya selain: harga! Cukup dengan 3000 rupiah saya bisa mendapatkan sebungkus rujak dengan porsi yang sangat mengenyangkan. Itu harga sekarang, tahun lalu bahkan hanya 2500 rupiah.

Jika diamati, lingkungan tempat saya tinggal ini sebenarnya terdiri dari beragam kalangan, beberapa ada yang terlihat sederhana (bukan miskin), tapi beberapa juga nampak begitu mewah. Sehingga bagi saya agak aneh kalau Mak Pon hanya menjual rujaknya dengan harga segitu, memang disini adalah lingkungan kos mahasiswa sehingga praktis banyak makanan murah, tapi pun saya tidak pernah menemukan rujak hanya seharga 3000 rupiah, paling murah adalah 4000 rupiah. Bahkan di saat sekarang dimana harga cabe sedang membumbung tidak karuan, Mak Pon tetap meladeni ketika saya minta 5 biji untuk diulek. Padahal di warung-warung lainnya begitu irit untuk memberikan sambal. Beberapa warung gorengan malah tidak menyediakan cabe, hanya petis.

Di warung kecilnya, Mak Pon juga menjual beberapa buah dan gorengan. Dan berapa harganya? Untuk setandan pisang ijo cuma 3000 rupiah, dan satu biji gorengan cuma 250 rupiah!

Bayangkan, dengan harga segitu, berapa banyak akumulasi labanya?

Sampai sekarang saya benar-benar tidak habis pikir. Mungkin memang benar, kata seorang teman saya, bahwa biasanya orang-orang seperti Mak Pon cuma butuh perputaran modal (dan sedikit sekali laba) untuk berjualan lagi esok harinya. Agak miris juga sebenarnya, dengan harga-harga kebutuhan yang semakin meroket dan tempat tinggal yang sudah reyot seperti itu, Mak Pon tetap berjualan makanan dengan standar harga layaknya 3 atau 4 tahun ke belakang.

Padahal jelas, bahwa dari segi ekonomi ia miskin!
Warung Mak Pon kerapkali juga didatangi oleh tetangga-tetangganya untuk sekadar cangkruk, baik ibu-ibu yang ‘seangkatan’ dengannya atau yang lebih muda. Suatu ketika saya pernah membeli rujak saat ada sekelompok ibu-ibu sedang ngerumpi di sana. Dan salah satu dari ibu itu nyeletuk,

Oalah mak sampeyan iki piye, mosok gorengan mek 250-an, gak kemurahen ta?
(Oalah ibu ini gimana, gorengan koq cuma seharga 250, apa tidak terlalu murah?)

Mak Pon menoleh sekilas, tersenyum lebar. Lalu kembali mengulek rujak.

0 komentar:

Posting Komentar