Ruang Kerja adalah Penjara tanpa Terali Besi.


"Dalam hati, aku membenci uang, dan aku tak ingin memikirkannya lagi.
Lucunya, setengah dari waktuku digunakan untuk
 
mencari cara bagaimana membuang uangku."
— Svante Tidholm, Surplus

Di akhir masa kuliah saya ini, seringkali saya mengenang betapa menyenangkan ketika teman-teman sebaya saya masih banyak yang berkuliah. Begitu banyak momen menggembirakan, mudah sekali untuk berkunjung ke kota-kota dimana teman-temanku berada, bisa menginap kapan saja dan dimana saja. Begitu pula sebaliknya, hampir tiap minggu rumah kontrakan saya pun selalu disinggahi mereka, entah itu untuk sekadar mampir, bermain atau mengunjungi kekasihnya yang kebetulan berada di Malang.


Sama halnya ketika saya berkunjung ke Surabaya, dimana kekasih saya berkuliah. Saya selalu merasakan momen-momen yang berbeda, seperti terbebas dari segala beban. Karena disana aku hanya bermain, jalan-jalan, pacaran lalu menghabiskan malam bersama teman-teman, sekadar kumpul di kos atau nongkrong sambil ngopi di pinggir jalan. Sama sekali tidak terpikir tentang urusan kuliah dan tetek bengek kampus yang menjengkelkan.

Tapi kini semua berbeda.

Saya kehilangan kekasih dan teman-teman saya semenjak mereka memasuki dunia kerja. Momen-momen bersama mereka kini telah luntur. Amat menyedihkan. Terutama karena kekasih saya sekarang bekerja di Jakarta, tepatnya di Trans TV sebagai creative officer. Dengan jarak yang sangat jauh serta jam kerjanya yang begitu gila, rasanya mustahil dunia ini mampu mempertemukan kami dalam momen-momen yang begitu bebas dan leluasa.

Saya bukannya tak pernah menyadari situasi ini, sudah sejak lama saya memikirkan hal ini, jujur itu membuat resah. Selama ini saya memang sedikit santai ketika mengerjakan skripsi justru di saat teman-teman mulai terlihat sibuk dan saling berkejaran untuk lulus tepat waktu, antara 3,5–4 tahun. Saya memulai skripsi di bulan Mei, dalam ekspektasi saya, jika bekerja dengan optimal maka skripsi dapat saya selesaikan dalam waktu 4 bulan, tapi nyatanya saya baru menyelesaikan skripsi dalam tempo lebih dari setengah tahun (sesungguhnya pun tidak terlalu molor), itupun harus segera saya tamatkan karena bulan depan sudah menginjak semester baru dan rasanya sangat tidak manusiawi jika saya harus meminta lagi uang kuliah pada bapak. Kasihan mereka, toh adik-adik saya juga masih menuntut biaya sekolah yang tidak murah.

Satu hal yang kini sering saya rasakan dan agak membuat jengah adalah perubahan pola pikir teman-teman yang sudah bekerja. Setiap kali bertemu, pembicaraan mereka menjadi semakin membosankan, karena jika bukan keluhan-keluhan soal betapa melelahkannya pekerjaan mereka maka saya akan mendengar tentang segala macam ‘banyolan’ soal ide-ide bisnis macam apa yang paling mudah dan cepat untuk menghasilkan keuntungan.

Pembicaraan mereka selalu berkutat soal kerja, gaji, kerja, gaji dan sebangsanya. Jujur saja, saya merasa tidak nyaman dengan semua ini. Seolah-olah hidup kita hanya berkutat di antara lingkaran itu saja. Tapi toh hanya tinggal menunggu waktu, saya juga akan dijebloskan ke dalam ‘penjara’ yang sama.

**********

Masyarakat melihat bahwa ini adalah siklus yang normal, mereka selalu memaklumatkan bahwa memang seperti inilah realita hidup. Selepas sekolah kamu harus menghidupi diri sendiri, karena itu mau tidak mau kamu harus bekerja. Dan dalam dunia kerja kita akan selalu dituntut untuk berpikir lalu bertindak dengan cepat, tanpa henti. Bagai roda-roda mesin yang harus terus berputar kencang demi kelancaran alur produksi.

Sesungguhnya bukan sekadar masalah malas atau rajin, tapi kerja itu sendiri. Karena nyatanya sepulang menggadaikan waktu dari bekerja kita justru tak bisa beraktivitas apa-apa. Seperti yang dikatakan oleh Christophe Dejours bahwa manusia dikondisikan untuk memiliki perilaku produktif dalam organisasi kerja; dan di luar pabrik, ia tetap mempertahankan kulit dan kepala yang sama. Pola pikir kita memang sungguh telah teracuni dunia kerja, dan tentu saja itu juga mempengaruhi pola hidup kita. Bahkan lebih parah, rutinitas ini secara perlahan membuat kita semakin asing dengan esensi kehidupan.

Beberapa teman saya yang berasal dari keluarga mapan mulai memikirkan untuk berwirausaha. Ada yang mencoba berinovasi dengan berjualan bubur kentang, ada yang membuka distro kecil-kecilan bahkan menginvestasikan sejumlah besar uang untuk beternak ayam maupun lele.

Mengapa mereka terpikirkan solusi semacam itu? Mereka ingin kaya tanpa perlu menjadi budak orang lain? Mungkin salah satunya. Ada banyak alasan tentunya.

Di samping itu, setiap pekerja sesungguhnya menyadari bahwa ruang kerja adalah penjara. Karena kerja upahan atau kerja yang dipaksakan kepada kita untuk mengikuti arus kompetisi pasar adalah sesuatu yang menyebalkan. Dan sebagaimana penjara dalam arti sebenarnya, kita tidak dapat melakukan apapun yang ingin kita lakukan. Para bos-bos kita ibarat sipir penjara yang selalu mengawasi gerak-gerik kita dengan sangat ketat. Apabila kita membangkang, maka dalam sekejap kita akan mendapatkan ganjaran keras. Lalu, di bawah kondisi semacam ini siapakah yang tidak ingin melarikan diri?

Memang benar bahwa masih ada orang-orang yang mendapatkan pekerjaan dan bayaran sesuai hobi. Tapi berapa banyak mereka yang beruntung seperti itu? Iya, saya bilang beruntung, karena mitos bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kemalasan adalah omong kosong besar.

Belum lagi para jutawan seperti kaum selebritas, bos-bos korporat atau orang-orang kaya baru yang berhasil mengguritakan gerai-gerai bisnisnya di berbagai kota. Orang-orang seperti itulah yang selalu dijejalkan ke dalam otak kita sebagai contoh sukses manusia modern. Hingga akhirnya kita menjadi tergelitik lalu terperangkap dalam lingkaran kompetisi. Tentu saja definisi “sukses” ini adalah nilai universal yang disepakati masyarakat.

Dan lagi-lagi, dunia kerja akan selalu siap memeluk kita.

**********

"Kita membutuhkan sebuah revolusi harapan.
Dan untuk itu, kita membutuhkan pengertian bagaimana mengubah
 
kerja-kerja dan bagaimana menghitung kejayaan kita."
— Rebecca Sonit

Seorang anarkis, Bob Black, menganjurkan untuk penghapusan dunia kerja (baca: kerja upahan). Karena baginya kerja merupakan sumber dari hampir seluruh kesengsaraan di dunia ini. Dan nyaris segala kebusukan tercipta akibat dunia ini dirancang untuk proses bekerja. Oleh karenanya, untuk menghentikan penderitaan maka kita harus berhenti bekerja.


Dalam beberapa poin saya menyetujui argumentasi Bob Black, tetapi itupun masih terdengar sangat sulit untuk direalisasikan, terutama di Indonesia yang notabene adalah negara Dunia Ketiga. Sungguh tidak mungkin disamaratakan dengan kondisi mereka yang hidup di Amerika Utara atau negara-negara adidaya lainnya yang memperoleh pemasukan dari hasil keringat dan darah para pekerja Dunia Ketiga sehingga dapat memperkuat kas negara untuk membiayai tunjangan-tunjangan sosial. Sehingga kondisi hidupnya juga sangat berbeda. Bahkan sang primitivis, John Zerzan, kabarnya selama bertahun-tahun ia dapat membiayai hidup sehari-hari hanya dengan mendonorkan darahnya, entah berapa jumlah uang yang ia dapatkan. Tapi yang jelas, itu adalah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Disini, seorang pengangguran adalah sampah masyarakat. Alih-alih tunjangan, yang ada justru menjadi bulan-bulanan cemooh masyarakat.

Suka tidak suka, kita harus tetap berpura-pura bahagia dalam sistem perbudakan legal yang menamakan dirinya kerja. Dan jika kamu tidak dilahirkan dari rahim orang kaya, maka ikhlaskan dirimu untuk menjadi budak seumur hidup. Karena hari ini, kerja berarti kerja upahan untuk menghasilkan komoditi maksimum demi penumpukan profit (nilai-tukar). Bukan kerja kreatif yang dikumandangkan Karl Marx yang bermakna aktivitas manusia dalam rangka menciptakan nilai-guna dan bersifat kualitatif.

Semua itu memperlihatkan bahwa kita telah terjebak makin jauh dalam lingkaran akumulasi kapital. Sulit sekali menemukan alternatif yang tidak bermuara pada keterpaksaan.

Kita ingin berwirausaha demi perubahan nasib yang lebih baik? Mungkin saja. Tapi bagaimana jika kita mengalami kebangkrutan atau terdesak karena kebutuhan-kebutuhan yang sangat menguras finansial? Belum lagi jika dihadapkan pada tagihan-tagihan yang menumpuk? Untuk anak ingusan seusia saya saja sudah mulai tercecer beberapa tagihan disana sini, apalagi mereka yang sudah menjadi perpanjangan tangan keluarganya?

Terpaksa kita harus kembali menjadi budak bagi orang lain.

Atau jika kita telah sukses menjalankan bisnis wirausaha, dan berhasil menggapai impian untuk merubah nasib tanpa perlu bekerja kepada orang lain. Lalu bagaimana agar semuanya dapat bertahan seiring dengan perkembangan mode konsumsi? Bukankah itu berarti juga selalu menuntut agar kita menggenjot produksi dan menghisap tenaga orang lain? Saya tidak tertarik, saya memang belum menemukan alternatif apapun yang mampu menopang hidup saya selain bekerja. Daripada menjadi bos besar, saya lebih memilih menjadi budak orang lain. Setidaknya demi hidup mandiri, lepas dari tunjangan orang tua.

Pada akhirnya, semakin hari deklarasi Bob Black tentang abolisi kerja nampak semakin terlalu tinggi untuk saya rengkuh, meskipun sesungguhnya saya juga memendam mimpi yang sama.

1 komentar:

Indo Telematika Education mengatakan...

blogwalking, mantap nih postingan, mungkin memang adakalanya hidup ini pilihan, ketika kita menentukan sikap, itulah jalan kita dengan berbagai konsekwensinya, salam kenal, thanks us ispiring

Posting Komentar