20 Jam.

 

"What we don't understand we can make mean anything.
— Chuck Palahniuk

I

Sebelum 1 jam pertama…

Saya datang terlalu cepat, hanya ada segelintir orang yang telah menempati kursinya dan saling mengobrol dengan teman sebelahnya. Ada pula satu keluarga, bapak, ibu dan dua anak, yang mulai menata barang bawaan sekaligus bekal mereka selama perjalanan. Akhirnya saya putuskan untuk menggelar koran dan duduk di pinggir pintu masuk sembari memandangi orang-orang yang saling berkelebatan tiada henti.

Setengah jam berlalu, melongok ke tempat duduk saya dan tempat sebelahnya, ternyata masih kosong. Saya tak beranjak dari pintu masuk. Beberapa menit kemudian ada seorang anak muda, sepertinya beberapa tahun lebih tua dari saya, ia menuju depan kursi saya. Saya ingin menghampiri lalu menyapanya namun setelah duduk ia langsung memejamkan mata, mungkin kelelahan. Akhirnya saya kembali nangkring di pintu masuk sembari cari udara segar.

Bocah-bocah mulai hilir mudik menawarkan koran bekas, yang dapat dipakai alas duduk atau kipas-kipas. Bersaing dengan kakak-kakaknya yang jual kipas beneran dengan warna-warna mencolok. Sementara itu, para lelaki dan perempuan pedagang minuman sudah mulai bergerilya di dalam dan saling berebut meneriakkan jurus rayuan.

Banyak orang yang telah berdatangan, saya pun beranjak menuju tempat duduk. Sedikit demi sedikit mulai terisi penuh, dan armada rakyat ini pun melaju.

II

1 jam pertama…

Berkenalan dengan si mas yang duduk di sebelah saya, ia orang Jakarta dan ternyata berniat melancong ke rumah temannya di Singosari, ada urusan bisnis. Kemudian ibu di sebelah ujung yang terpisah dengan suaminya di kursi belakang, katanya ia turun Blitar. Lalu dengan ibu muda yang duduk di depan saya ditemani kerabatnya, ia membawa dua anak kecilnya, ternyata terpisah dengan sang kakek yang duduk di kursi depan. Lumayan jauh juga, turun Semarang. Dan si anak muda di depan saya masih terlelap.

Jam-jam berikutnya…

Setelah berhenti di beberapa tempat, semakin bertambah banyak orang berdatangan. Tentu saja beberapa dari mereka tidak kebagian tempat duduk, dan akhirnya mulai banyak orang yang berdiri berjejalan. Ada satu yang lucu, ada seorang bapak berlogat Jawa Tengah yang baru datang langsung mengomel, “Piyeee seh iki, wong-wong loket ra genah blas ancene, mosok aku ki wes tuku tiket larang-larang tapi tibak’e ra oleh panggon gawe lungguh, eh koq malah disangoni ember cat gawe lemek bokong.” (Gimana sih ini, orang-orang loket memang gak bener, masak saya sudah beli tiket mahal-mahal tapi ternyata tidak kebagian tempat duduk, eh koq malah dibawain ember cat buat alas pantat.)

Saya langsung tertawa, bagaimana tidak, ember cat yang sedari tadi ditenteng-tenteng oleh si bapak ternyata kosong, dan fungsinya justru untuk tempat duduk.

Lalu ada si bapak pelakon Reog Ponorogo, yang awalnya memperoleh tempat duduk namun hanya beberapa jam, akhirnya ia harus terusir karena sang empunya menagih jatah. Apa boleh buat, ia langsung berdiri. Tapi ia tak kenal lelah, sepanjang perjalanan mulutnya tak pernah berhenti menyerocos, kadang sesumbar berlebihan, tetapi kadang juga menggelikan.

Dalam waktu singkat, kedua bapak-bapak yang umurnya pasti sudah berkepala empat ini langsung mengakrabkan diri. Mungkin karena persamaan nasib (tidak kebagian tempat duduk), mereka malah bukan seperti dua orang yang baru kenal, langsung akrab dan saling bercanda satu sama lain, bahkan saling ledek.

Dua orang ini jadi pusat hiburan, keduanya memang sama-sama ceplas ceplos kalau bicara, kalau kata orang Jawa: sak njeplak’e, sak enak udele. Tapi jujur saja, keduanya memang lucu. Dan kelucuannya mulai makin menjadi-jadi ketika ada seorang wanita muda yang baru datang dengan membawa boneka panda besar berwarna pink, ia juga tidak kebagian tempat duduk. Langsung saja, si bapak berlogat Jawa Tengah menyodorkan embernya untuk diduduki, si wanita muda ini pun menerima dengan senang hati.

Dan si bapak lakon langsung meledek, “Woooo, onok pahlawan kesiangan rek, hahaa…” (Woooo, ada pahlawan kesiangan rek, hahaa…)

Si bapak berlogat Jawa Tengah langsung merengut. Tapi ia tak mau kalah, “Yo babahne ta lah, dadi uwong koq usil wae. Mbak’e kan yo sakne lek kudu ngadek suwe. Wong sampeyan yo pasti gelem wae kan lek tak tawani ember iki gawe lungguh…” (Ya biarin lah, jadi orang koq usil saja. Mbak-nya kan ya kasihan kalau harus berdiri lama. Toh bapak juga pasti mau-mau aja kan kalau saya tawari ember ini buat duduk…)

Si bapak lakon menimpali lagi, “Wooo, ati-ati loh mbak, awas ngene iki pasti onok karepe, temenan ati-ati loh mbak sampeyan…” (Wooo, hati-hati loh mbak, pasti gini ini ada maunya, beneran harus hati-hati loh mbak…)

Dan si bapak satunya membalas, “Bah, dadi uwong koq sirik wae.” (Bah, jadi orang koq sirik aja.)

Si wanita ini pun cuma bisa tersenyum-senyum melihat tingkah polah kedua bapak ini. Saya bersama penumpang-penumpang di sebelah saya pun juga hanya tertawa. Kedua orang ini memang menjadi hiburan tersendiri di tengah kegerahan.

Beberapa saat kemudian, dengan gayanya yang agak sok, si bapak lakon menraktir kopi seorang bapak bertampang Arab yang juga baru dikenalnya dan dipanggilnya dengan sebutan “abah”. Ia seakan terlihat tak mau kalah dermawan dengan si bapak berlogat Jawa Tengah, padahal baru sejam sebelumnya ia sesumbar dan menggoda salah seorang wanita penjual nasi bungkus yang sudah hilir mudik tiga kali di hadapannya.
   
             “Mbak mbak, enek iwak opo ae tho?
             (Mbak mbak, ada ikan apa aja sih?)
   
             Si mbak menjawab, “Telor sama ayam, pak…
   
             “Waduh, lha aku alergi ayam mbek telor iki,

             lek iwak-iwak ora onok ta?
             (Waduh, lha saya alergi ayam sama telor,

             kalo ikan-ikan ada nggak?)
   
             Si mbak menjawab lagi dengan sabar,

             “Nggak ada, bapak…
   
             “Wah yowis ora sido tuku nek ngono.
             (Wah ya sudah tidak jadi beli kalau begitu.)


Akhirnya si mbak ngeloyor dengan seutas senyum. Sementara si ibu di sebelah saya langsung menimpali, “Halah halah pak, iso-iso ae tho lek nggudoi, lha wong jelas-jelas dodolane ayam seng ditakokno koq iwak. Lha engkok lek dodolane iwak seng ditakokno ayam, lek ancen niat ora tuku yo mbok ora usah takok-takok…” (Halah halah pak, bisa-bisanya kalau menggoda, lha sudah jelas jualannya ayam yang ditanya koq malah ikan. Lha nanti kalau jualan ikan yang ditanyain ayam, kalau memang niat tidak beli ya mbok tidak usah tanya-tanya…)

Si bapak lakon hanya tertawa terbahak-bahak. Ia sungguh santai menghadapi segala sesuatu, meskipun kelelahan terpancar dengan jelas dari wajahnya yang sudah mulai dibanjiri peluh.
 
III

Setelah 7 jam perjalanan…

Di tengah sedang asyik makan nasi bungkus, saya dikejutkan dengan teriakan bapak-bapak penumpang di belakang saya. Tiba-tiba ia melompat ke atas kursi, tak ayal saya pun kaget dan langsung berdiri. Si bapak ini langsung mencak-mencak kesetanan tidak karuan, seperti orang yang sedang memperagakan jurus silat. Matanya pun menatap dengan nyalang dan menyapu seluruh penumpang, termasuk saya, membuat sedikit bergidik. Ia duduk bersama anak perempuannya, sontak si anak ini langsung menangis keras sekali sembari berteriak, “Maaf pak, maaf pak, maaf pak…”. Kemudian salah satu temannya mencoba menenangkan si bapak, tapi malah dipukul seakan-akan ia adalah musuh.

Seketika saja, orang-orang langsung mengerubuti dan mencoba menenangkan si bapak. Setelah melalui proses yang agak lama, dan membutuhkan lebih dari 3 orang lelaki, akhirnya si bapak yang berasal dari Madura ini mulai dapat ditenangkan dan dipapah duduk kembali di kursinya.

Dan barulah kemudian saya menyadari, bahwa nasi bungkus saya tadi telah terlepas dari genggaman dan akhirnya meluncur ke bawah kursi. Sialan.

Kemudian si bapak brewok (suami ibu yang duduk satu kursi bersama saya) tukar tempat duduk dengan mas asal Jakarta, dan akhirnya satu kursi juga dengan saya. Lalu ia bercerita kepada kami, bahwa bapak yang mencak-mencak tadi berangkat ke Jakarta untuk menjemput anak perempuannya di agen penyaluran TKW. Dan ternyata si bapak mendapati bahwa anak perempuannya (yang bekerja di Arab) ini telah menikah dengan seorang lelaki. Padahal ia baru seusia anak SMP, entah karena stress atau entah ada masalah lain, akhirnya si bapak ini semenjak awal perjalanan seperti mengalami depresi. Pantas saja, yang saya tahu sedari berangkat si bapak ini memang terlihat lemas seperti orang sakit.

Lalu, obrolan berlanjut, satu persatu penumpang mulai bercerita tentang dirinya, tentang si ibu-bapak asal Blitar yang baru saja mengunjungi keluarga di Jakarta, si bapak lakon yang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk melatih pagelaran Reog Ponorogo di beberapa kota, si bapak berlogat Jawa Tengah yang kangen keluarganya di rumah, si wanita muda yang ternyata adalah TKW dan hari ini ia pulang ke Tulungagung membawa boneka panda untuk menghadiahi anak perempuan yang telah lama berpisah darinya.

Perlakuan, obrolan-obrolan maupun kisah-kisah yang meluncur dari para penumpang ini membuat saya merasakan suasana yang berbeda. Ternyata dunia ini akan selalu memberikan senyumnya yang terindah di saat kita memiliki hasrat untuk saling berbagi.

Setelah cukup lama bergunjing, satu persatu dari kami pun tertidur pulas.

IV

Pagi hari… 

Perjalanan telah sampai di Madiun, tepat waktunya sarapan. Kami pun beramai-ramai membeli pecel Madiun yang cuma seharga 3000 rupiah. Lauknya memang tidak terlalu banyak, tapi porsinya cukup lumayan. Tiba-tiba (dan kenapa selalu tepat di saat saya sedang makan) si bapak Madura ini melongok ke kursi saya kemudian bicara ke bapak brewok dengan logat Jawa Timuran, “Pak, tulung sampeyan lungguh sebelahku kene ae ngancani aku yo pak, aku wedi, onok seng arep mateni aku pak…” (Pak, tolong anda duduk di sebelah saya saja nemenin saya pak, saya takut, ada orang yang mau bunuh saya pak…) 

Hekz, sedang nikmat mengunyah nasi tenggorokan saya langsung tercekat.

Tapi si bapak brewok menjawab dengan santai, “Iyo pak, wes ta lah sampeyan lungguh  seng tenang ae nang kono, moco Al-Fatihah seng akeh, gak onok opo-opo koq…” (Iya pak, bapak duduk yang tenang aja disana, baca Al-Fatihah yang banyak, tidak ada apa-apa koq…)

Akhirnya si bapak Madura kembali duduk tenang di tempatnya.

Saya benar-benar tidak habis pikir. Ada-ada saja.

Tapi belum berhenti di situ, sejam kemudian si bapak Madura kembali merengek ke bapak brewok dengan kata-kata yang persis sama. Si bapak brewok masih menanggapi dengan santai, “Iyo iyo wes ta lah, sampeyan lungguh ae, engkok tak gawakno bedil.” (Iya iya sudahlah, anda duduk aja, nanti saya bawakan pistol.)

Saya agak sedikit geli mendengar jawaban itu, tapi juga masih heran dengan bapak Madura satu ini, benar-benar tingkah lakunya tidak wajar.

Satu persatu penumpang mulai banyak yang turun, diawali si bapak pelakon Reog Ponorogo, kemudian bapak berlogat Jawa Tengah hingga wanita muda TKW yang membawa boneka panda.

V

Menuju 20 jam terakhir…
Puncak dari kericuhan ini, satu jam sebelum bapak brewok ini turun, si bapak Madura kembali merengek dengan permintaan yang persis sama. Akhirnya si bapak brewok menuliskan beberapa ayat Al Qur’an di secarik kertas, mungkin ia berusaha menenangkan hati si bapak Madura ini, karena sebentar lagi ia juga harus turun. Pastinya ia enggan jika nantinya ada masalah yang merecokinya lagi. Setelah selesai, ia berikan kertas itu pada anak perempuan si bapak Madura tersebut, dan berpesan agar sering-sering dibaca.
Kemudian si ibu-bapak asal Blitar ini bersiap turun, seperti penumpang-penumpang sebelumnya, keduanya juga berpamitan dan menyalami saya, bahkan si ibu sempat menawarkan, “Mas, kapan-kapan main ke rumahku ya, dekat sini aja koq…
Saya terdiam beberapa detik, sungguh saya tidak menyangka akan ditawari seperti itu oleh orang yang baru saya kenal, apalagi dalam perjalanan. Entah itu sekadar basa-basi atau tidak, tapi saya pikir itu pasti karena keterikatan yang telah muncul di antara kami sesama penumpang, walaupun hanya sesaat.
Lalu saya menjawab, “Hehe, iya bu, insyaallah kalo ada waktu pasti mampir…
Akhirnya kami melambai satu sama lain.
Kemudian si mas asal Jakarta berpindah tempat duduk agar bisa selonjoran. Saya duduk sendirian, tapi tidak lama, jujur saya agak takut dan khawatir dengan bapak Madura itu maka akhirnya saya putuskan untuk pindah tempat pula, daripada nanti saya yang diminta tolong, tambah runyam.
Saya menemukan kursi kosong untuk merebahkan badan, dan sebelum memejamkan mata saya sempat memikirkan kilas balik kejadian beberapa jam ke belakang.
Ada banyak kekisruhan di dalam, begitu pula udara panas yang tak bisa kompromi, kecuali di kala hujan deras. Semua itu membuat kesal dan capek. Juga ada banyak kericuhan dari para pedagang asongan, tapi mereka tak pernah lupa untuk saling bertukar lelucon dan menyapa penumpang ketika bertatap muka. Ataupun para pengamen yang selalu mampu mengusir rasa kantuk kami dengan suara-suara fals tapi bersemangat. Tapi sungguh menyenangkan ketika menyadari bahwa perjalanan dengan armada rakyat kelas bawah ini membuat kami menjadi satu keluarga besar yang saling berbagi rasa dan tawa, bebas dari alienasi sosial, walau hanya untuk 20 jam.
Dan bagi kami para penumpang mungkin terselip satu perasaan yang seirama:
Selalu ada keindahan dimanapun kita menjejakkan kaki, bahkan di tengah suasana yang tak nyaman, hanya perlu sedikit membuka mata dan melawan kegarangan hati.
Pemberhentian terakhir, saya turun dengan menenteng senyum lebar dan rasa lelah yang telah hambar.
   
Selamat tinggal 20 jam yang ajaib…

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagaimana dengan "TOLERANSI" brad?

groempz mengatakan...

Apa yang mampu kita perbuat kawan.. kapitalism,telah berhasil meracun otak tiap kepala

Posting Komentar