Piramida dan Akar-akar Kekuasaan.

 

"Siapa saja yang masuk ke kancah kekuasaan
harus siap menyentuh najis."
— Anonimus

Kemarin lusa, ketika saya menonton berita di televisi, Adnan Buyung Nasution, yang sedang diwawancarai terkait posisinya sebagai pengacara Gayus Tambunan memberikan komentar bahwa sesungguhnya Gayus telah berusaha bekerjasama untuk membongkar seluruh oknum yang terlibat penggelapan pajak, namun ia justru semakin dikorbankan dan menjadi akal-akalan satgas hukum.

Saya hanya menanggapi dengan tawa yang bernada mengejek.

Menimpali hal ini, salah seorang teman, Ageng, yang kala itu nonton bersama saya, bertanya, “Ada nggak sih, sarjana-sarjana (hukum) yang esok masih idealis?

Saya menyadari mengapa Ageng bertanya seperti itu, dan bukankah itu pula yang menggelisahkan banyak orang. Namun, sedari dulu saya tak pernah yakin terhadap hal tersebut. Lebih baik mencurigai daripada berharap mentah-mentah. Karenanya, saya hanya menimpali lagi dengan candaan, “Kalau mau sedikit idealis, ya jadi penghulu di KUA saja.

Kami berdua hanya tertawa dengan getir.

**********

"Kekayaan tak mampu memuaskan ketamakan, 
sedangkan kekuasaan juga tidak membuat
orang mampu menguasai diri sendiri."
— Severinus Boethius

Sebuah kasus korupsi atau (misalnya) penggelapan pajak harus dipahami sebagai kerja kongkalikong yang selalu melibatkan lebih dari satu orang, mulai dari level yang paling atas, yang mendapatkan jatah paling besar, hingga level-level bawah yang pasti mendapatkan jatah lebih sedikit. Bahkan kasus-kasus kacangan semacam suap menyuap di kelurahan pun pasti ada beberapa tingkatan oknum yang terlibat.

Saya percaya kepada ultimatum Lord Acton yang termasyhur itu, bahwa kekuasaan cenderung bersifat korup, apalagi kekuasaan yang absolut, sudah pasti korup. Sehingga berbicara tentang pemberantasan korupsi maka sekaligus perlu memikirkan tentang penghapusan kekuasaan.

Bayangkan situasi seperti ini:

Si A adalah orang terpandang yang dikenal alim, jujur dan suka berderma, karena itu pula ia juga diberikan amanat untuk duduk sebagai jajaran penting di kursi pemerintahan. Ia tahu bahwa di sekelilingnya, si B, C, D dan anak-anak buahnya telah bertindak korup. Awalnya ia tetap bersikeras untuk menentang aksi korup sejawatnya itu. Tapi apakah itu gampang? Dan jika ia melawan? Apakah itu memungkinkan? Semakin lama ia pasti sadar, bahwa hanya ada tiga pilihan baginya: ikutan korupsi jika ingin tetap bekerja, melawan tapi dimusuhi teman-temannya dengan resiko dikambinghitamkan ketika kasus terungkap, atau keluar dari pekerjaan. Atau pilihan lain? Cari aman saja dengan pura-pura tidak tahu?

********** 

"Batas-batas bagi tiran ditentukan oleh ketahanan
dari orang-orang yang mereka tindas."
— Frederick Douglass

Seorang teman, Esti, yang saya anggap sebagai tipikal perempuan alim yang sederhana, penampilan apa adanya, dan tak terlalu banyak tingkah sekaligus cukup pintar. Pertengahan tahun lalu ia baru saja lulus kuliah dan langsung diterima kerja di salah satu kantor pelayanan pajak. Awalnya teman-teman yang lain melihat bahwa itu adalah keberhasilan yang dicapai Esti. Tetapi seketika ia juga membuat teman-teman keheranan, pasalnya belum satu bulan bekerja ia sudah mengundurkan diri. Apa sebab? Katanya, ia tidak kuat bekerja disana, bukan soal jam kerja atau gaji yang kurang, tapi karena perilaku korup orang-orang di kantornya. Dan itu melibatkan hampir semua pihak. Itulah kenapa ia merasa tertekan dan tidak betah sehingga langsung memutuskan untuk keluar dari lingkungan yang seperti itu. Mungkin ia menyadari bahwa jika tetap bertahan di kantor tersebut maka mau tidak mau esok ia pasti terlibat.

Lalu, bukankah dalam agama atau kepercayaan apapun sebuah tindak korupsi, penggelapan dana atau kecurangan lainnya adalah perbuatan dosa? Tapi nyatanya, sepengetahuan saya dulu Departemen Agama termasuk lembaga pemerintahan yang paling banyak memunculkan kasus korupsi. Betapa ironis.

Faktanya, perilaku korup di lembaga pemerintahan memang telah menjadi rahasia publik, tapi cuma berakhir sebagai gerutuan atau celaan dari masyarakat. Tanpa pernah kita berupaya untuk menyadari bagaimana segala hal ini bisa terjadi dengan begitu mudahnya tapi sulit dituntaskan.

Seberapa sering kamu mendengar keluhan orangtuamu tentang tingkah laku para pejabat yang menyebalkan? Atau justru kamu dan kekasihmu sendiri yang selalu mengomel? Seberapa banyak kasus korupsi yang kamu baca di koran setiap harinya? Seberapa jengkel masyarakat dengan semua ini? Kemudian, sudah berapa kali kita membongkar pasang pejabat birokrat? Berapa kali kita gonta-ganti penguasa?

Adakah perubahan? Jangan menolak jawaban ini: tidak!

Masalahnya bukan sekadar apakah para pejabat itu terdiri dari orang-orang yang alim ataupun serakah. Tapi sumber atas segala carut marut ini adalah kekuasaan itu sendiri. Saya sama sekali takkan memungkiri bahwa banyak pejabat yang sesungguhnya adalah pribadi yang baik, tapi itu takkan berpengaruh apapun semenjak ia bergabung dalam jajaran birokrasi. Dengan segera ia akan terjebak dalam lingkaran jahat yang tak mampu ia lawan, sehingga seperti apa yang saya ceritakan di awal, hanya tersedia sedikit alternatif baginya. Mungkin pilihan terbaik adalah keluar dari pekerjaan. Lalu, mampukah menanggung kebutuhan keluarga di hari esok? Alasan klise tapi gawat: kesejahteraan. Inilah yang ditakutkan banyak orang sehingga membuat kasus korupsi semakin tak terjamah.

Jangan pula berharap pada komitmen serta kecekatan aparat kepolisian dan panitera hukum yang telah kita pahami dengan baik bahwa justru merekalah pihak-pihak yang selalu melanggengkan korupsi dan kejahatan penguasa. Artinya apa?

Seperti yang diungkapkan John Holloway, seorang marxis otonomis, bahwa ada satu konsep kunci dalam sejarah kekuasaan yaitu pengkhianatan. Sebab ‘negara’ sebagai sebuah bentuk organisasi raksasa dapat memisahkan para pemimpin dari rakyatnya, hingga menyeretnya menuju langkah-langkah kooperatif dengan kapital, tunduk di bawah kepentingan para eksekutif-eksekutif korporasi.

Jika kita masih mempertahankan dan menaruh harapan pada sistem hirarkis ini, maka takkan ada nafas perubahan yang berhembus. Sepuluh kali kita memenggal para koruptor tapi seratus kali koruptor lain akan berkembang biak, ribuan kali kita mengganti penguasa maka tidak akan berubah makna, tetap “penguasa”, dan ia pasti menularkan wabah kesengsaraan.

Alkisah, Raja Asoka dari Dinasti Maurya, sang penguasa India pada masa lampau, sempat mengeluhkan bahwa di satu saat ia pernah sangat terusik oleh kekuasaannya sendiri. Kala itu Raja Asoka banyak memperoleh kemenangan hingga hampir seluruh anak benua India, mulai dari daerah Barat Laut hingga seluruh wilayah Teluk Bengali berhasil dikuasainya. Namun lama kelamaan keberadaannya sebagai penguasa serasa digugat, bukan oleh rakyat, tetapi oleh hati nuraninya sendiri. Ia merasa bahwa kekuasaan adalah sumber dari segala kekerasan yang telah ia lakukan, sekaligus akar dari kekejian dan pertikaian antar sesama.

Jadi, belum cukupkah kita mendapati kenyataan? Tak cukup sekadar mereformasi para punggawa atau paduka yang bercokol di singgasananya, karena takkan pernah membawa pengaruh yang berarti. Runtuhkan kerajaannya!

Di hadapan kita senantiasa terjulur akar-akar kekuasaan, pembuluh darah bagi penindasan yang perlu kita cabut dan patahkan satu persatu. Dan piramida raksasa yang harus segera dirubuhkan. Karena piramida ini akan menjadi lebih indah jika hanya tersisa dalam puing-puing kehancuran.

0 komentar:

Posting Komentar