Kolase Semesta: Berkah, Spiritualitas dan Petaka


Civilization is a youth with a molotov cocktail in his hand.
Culture is the Soviet tank or L.A. cop that guns him down.

— Edward Abbey

Baraka.

Terdengar asing bagi saya, entah bahasa ini berasal dari wilayah mana (sepertinya bahasa Arab). Namun, beberapa hari kemudian saya mengetahui bahwa dalam bahasa Indonesia berarti “barokah” atau “berkah”.

Sabtu sore di squat mungil kami, bersama beberapa teman, saya menonton film dokumenter berjudul “Baraka” ini. Sebuah film yang bagus dan cukup memikat. Awalnya terkesan janggal, di lima menit pertama saya mulai heran, mengapa sama sekali tak ada tulisan ataupun dialog, lewat sepuluh menit tetap tidak ada, hingga menit-menit berikutnya saya mulai paham bahwa film ini memang bergaya demikian. Tak ada plot, tak ada aktor, tak ada narasi, yang ada hanyalah sekumpulan footage yang memperlihatkan segala sesuatu di muka bumi ini. Ratusan lokasi sekaligus berbagai macam aktivitas di puluhan negara yang berbeda.

Sedari awal hingga akhir, disuguhkan berbagai macam potret panorama alam yang sangat menggiurkan. Mulai dari pegunungan Himalaya di Nepal, kepulauan Galapagos di Ekuador, air terjun Iguacu di Argentina, Taman Nasional Kakadu di Australia, pulau Maui di Hawaii, hingga Gunung Bromo di Probolinggo. Kemudian lanskap-lanskap tersohor seperti Candi Borobudur di Magetan, Angkor Wat di Kamboja, kuil-kuil pemujaan di Jepang, hingga Piramida Giza di Mesir. Tak luput pula tempat-tempat yang membuat hati agak miris seperti Favela da Rocinha, perkampungan kumuh di Rio de Janeiro, Brasil; lapangan Tiananmen di Beijing yang pernah menjadi arena penembakan massal; Auschwitz, kota bekas kamp konsentrasi Nazi di Polandia; hingga Sonsam Kosal Killing Fields, tempat pembantaian manusia semasa rezim Pol Pot di Kamboja. 

Selain itu, ditampilkan beragam aktivitas dramatis mulai dari ritual agama atau kepercayaan setempat, tarian suku-suku primitif hingga kesemrawutan masyarakat urban.

Semua footage itu saling berkelebatan dengan cepat, berpindah antara satu lokasi ke lokasi lainnya, memang membingungkan karena tidak ada nama atau keterangan apapun. Tapi mungkin inilah yang menjadi tujuan sang pembuat film, kita sengaja dibawa melintasi berbagai belahan dunia untuk mengenali secara jeli setiap esensi yang terekam di antara satu tempat dengan tempat lainnya, atau satu aktivitas dengan aktivitas lainnya. Kemudian mengaitkannya satu sama lain, mungkin akan terjalin sebuah similaritas atau bahkan kontradiksi tajam.

Agar memudahkan pemahaman, saya sendiri lebih suka menyederhanakan ratusan footage ini ke dalam tiga kategori makna, yaitu berkah, spiritualitas dan petaka. Berkah untuk menyebut segala macam panorama yang indah nan menakjubkan; spiritualitas untuk menyasar berbagai ritual kepercayaan; dan petaka, tentu saja merupakan sebuah kata yang sangat pas untuk menggambarkan kehidupan masyarakat pasca modernisasi ini, sebab di tengah ‘kemajuan peradaban’ ia justru terlihat tragis dan memilukan.

Sebagian besar fenomena yang disuguhkan memang memukau dan mencengangkan, namun yang paling membuat gusar adalah ketika film ini menelanjangi denyut nadi kehidupan harian masyarakat primitif versus masyarakat modern. Lebih jauh lagi, kedua masyarakat dengan pola hidup yang jauh berbeda tersebut seakan-akan memang sengaja dikomparasikan untuk memberikan penekanan lugas bahwa kehidupan modern adalah ‘kanibalisme’.

Ya. Kehidupan modern adalah kanibalisme.

Betapa tidak, semua terekam begitu gamblang ketika disandingkan dengan potret kehidupan suku-suku primitif di berbagai belahan dunia. Digambarkan tentang kehidupan mereka yang tenang dan tentram dalam sebuah komunalitas dengan populasi tak terlalu besar sehingga nampaknya tercipta pola relasi yang erat diantara sesamanya.

Selanjutnya dikomparasi dengan keseharian masyarakat modern yang semrawut, timpang dan serba tergesa-gesa. Salah satu footage menampilkan seorang biksu yang sedang berjalan lambat di jalanan kota Tokyo sambil menggoyangkan loncengnya setiap satu langkah, sangat kontras dengan orang-orang di sekelilingnya yang berjalan cepat kesana kemari mengejar kepadatan waktu. Lalu buruh-buruh pabrik dengan gerak termekanisasi yang tak ada bedanya dengan mesin-mesin pabrik itu sendiri, para gelandangan yang sedang tertidur pulas di berbagai ‘tempat dan posisi’, kericuhan jalanan kota metropolitan dimana kendaraan berlalu-lalang tanpa henti, hingga sampai gambaran tentang domestikasi hewan, anak-anak ayam yang dilabeli di pabrik, dipotong paruhnya demi percepatan pertumbuhan, kemudian digelindingkan secara ‘elegan’ dalam alunan mesin pabrik untuk menuju ‘tempat eksekusi’ selanjutnya.

Terselip pesan utama: ganas dan monoton.

Lantas, bukan berarti saya bilang bahwa kehidupan suku primitif itu sempurna, tentu saja tidak ada masyarakat yang hidup tanpa error. Tapi sungguh saya merasa tergelitik sekaligus bergidik ketika memelototi detik demi detik dalam film Baraka ini.

Bukankah kita memang hidup dengan cara demikian?

Kita terkurung dalam satu sangkar raksasa tapi tidak saling menyapa. Kita terasing, padahal kita berada dalam kerumunan besar. Kita berdiam diri, padahal kita tahu bahwa kita sedang dipenjara.

Ataukah kita memang tidak menyadari semua itu?

**********

Don't bother about being modern.
Unfortunately it is the one thing that,
whatever you do, you cannot avoid.
— Salvador Dali

Bagi masyarakat modern, primitif seakan bersinonim dengan tidak ada kemajuan atau stagnansi peradaban. Bahkan kaum adat di Papua yang memakai koteka pun seringkali menjadi bahan lelucon kita. Perang antar suku pun juga dianggap sebagai kebiasaan dan naluri yang barbar, tentu saja “barbar” disini berarti kata sifat yang sangat buruk yang hanya dimiliki kaum-kaum primitif, sesuatu yang memalukan dan harus dienyahkan.

Tapi benarkah seperti itu?

Lalu, apakah masyarakat modern dapat dikatakan lebih manusiawi karena mengalami revolusi di berbagai bidang? Dan kaum primitif lebih liar dan kebinatangan?

Mungkin selama ini kita tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya kita memberikan legitimasi sekaligus juga terlibat ke dalam ‘perang’ yang lebih besar. Saya tidak berkata perang seperti invasi AS ke Iraq, terlalu besar dan siapapun tahu bahwa itu adalah kebiadaban yang bermotif ekonomi. Semenjak globalisasi berhasil mengikat dunia ke dalam satu sangkar raksasa, maka segala produk yang kita beli maupun beberapa hal kecil yang kita lakukan sebenarnya selalu berpotensi mendukung invasi perang semacam itu.

Tidak perlu terlalu jauh, sekarang tengok saja perang-perang yang terjadi dalam keseharianmu, di sekolahmu, kantormu, pabrikmu, atau di jalanan-jalanan kotamu yang seringkali luput dari perhatian karena kita menganggap bahwa semua itu bukanlah perang, tetapi memang suatu bentuk aktivitas yang wajar, alias normal. Padahal setiap hari kita melihat banyak korban-korban berjatuhan, termasuk diri kita sendiri.

Semua perang itu adalah ajang pertarungan di atas arena bernama kompetisi dan akumulasi kapital. Lagi-lagi motif ekonomi demi modernisasi? Bukankah itu sama sekali tidak manusiawi? Lagipula apakah kaum primitif ini hidupnya tidak bahagia, karena kekunoan mereka? Sepertinya tidak. Memang ada beberapa yang mulai terpengaruh modernisasi, namun juga banyak sekali dari mereka yang tetap bertahan bahkan rela berperang demi menjaga martabat dan adat-istiadatnya agar tak terjamah pemerasan modernisasi, yang termanifestasi ke dalam proses industrialisasi serta intensitas teknologi.

Menonton Baraka yang mengomparasikan aktivitas suku-suku primitif dengan kehidupan urban di berbagai belahan dunia inipun membuat saya semakin terguncang, bahwa mungkin sebenarnya justu kitalah yang harus bertanya lagi kepada diri kita sendiri.

Benarkah masyarakat modern ini bahagia?

0 komentar:

Posting Komentar