Anak-anak versus “Monster” Leviathan.


"When I was 5 years old, my mother always told me that happiness was the key to life. When I went to school, they asked me what I wanted to be when I grew up.  I wrote down ‘happy’. They told me I didn’t understand the assignment, and I told them they didn’t understand life."
— John Lennon
   
The creative adult is the child who has survived.
— Ursula K. Le Guin

Semasa anak-anak, saya suka jajan sembarangan. Dulu saya jarang sekali dilarang membelanjakan uang untuk membeli apapun, meskipun tentu saja ada beberapa ‘petuah’ yang tak boleh dilanggar. Saya teringat bagaimana nikmatnya menusuk pentol sembari menyesap segarnya es wawan tiap sepulang sekolah. Tentu saja, setelah beberapa hari tenggorokanku pasti terasa agak serak, tapi toh takkan membuat keracunan. Lain sekarang, sedari berangkat sekolah, anak-anak harus selalu diperingatkan tentang betapa berbahayanya permen-permen yang beredar di pasaran, atau jajanan yang dibuat dari bahan-bahan yang telah kadaluarsa. Bahkan ibu-ibu yang baru saja memomong bayi pun harus ekstra waspada dalam memilih susu formula untuk buah hatinya. 

Ketika anak-anak, saya suka berbicara sendiri saat di kamar mandi, sambil memainkan orang-orangan (berbentuk seperti tokoh-tokoh kartun) dan menciptakan dialog seenak hati, mungkin seperti dalang saat bermain wayang. Jika sudah bosan, maka saya kan keluar rumah dan bermain gundu atau sepakbola, adu umbul, petak umpet, gobak sodor atau lompat karet, bahkan setiap bulan sekali saya bersama teman sekampung pergi ke gunung kapur untuk sekadar memunguti bola-bola kapur yang tercecer kemudian memancing di danau terdekat sembari menonton burung-burung beterbangan di kala senja. Sungguh saya sama sekali belum tahu bagaimana caranya berhadapan dengan komputer, apalagi jika harus selihai anak-anak sekarang yang gemar chatting dan rajin melongok status Justin Bieber di jejaring Twitter. 

Saat ini, semakin hari saya justru semakin sering melihat anak-anak gemar berkhotbah dan bertingkah di layar kaca, mereka berlomba menjadi panutan sebayanya selayaknya parodi orang dewasa yang berebut tiket untuk menjadi idola baru. 

Agaknya, kemajuan pesat yang kita rasakan sekarang membuat setiap orang tua terjebak di ujung tanduk, sedari awal mereka begitu gugup dan tergesa-gesa untuk mempersiapkan buah hatinya menjadi jawara. Atas alasan inilah yang seringkali juga membuatku terheran-heran, apa perlunya si belia yang bahkan baru saja belajar berjalan harus disekolahkan di sebuah lembaga bernama playgroup? Atau anak seusia SD yang harus diikutkan dalam berbagai lembaga bimbingan belajar atau kursus-kursus sepulang sekolah? 

Puluhan alasan digelontorkan, dan semuanya akan mengarah pada satu kesimpulan: setiap anak harus berprestasi dan cepat beradaptasi dengan dunia yang esok ditapakinya. Sehingga artinya juga muncul satu kesimpulan lagi: setiap orang dewasa harus pintar mengarahkan si anak demi kemajuan yang diinginkan. 

Ah, sungguh berat tugas yang mereka emban.

Dan saya kembali teringat, pada usia seperti itu, saya justru bermain kesana-kemari tanpa kenal waktu, mempelajari banyak hal baru tanpa harus terbelenggu ke dalam sebuah institusi atau lembaga. Jika salah biarkan saja itu menjadi kesalahan, tanpa perlu waspada agar selalu melakukan sesuatu yang benar. Tepat kiranya apabila George Santayana pernah mengetengahkan keresahan bahwa anak-anak yang hanya dididik di sekolah sesungguhnya adalah anak-anak yang tak terdidik. 

Seharusnya kita memahami bahwa bermain berarti mengalami ekstase spontanitas. Bermain adalah tahapan untuk memerdekakan kreativitas, bukan malah memenjarakannya. Bermain memiliki esensi yang penuh makna sebagai sebuah upaya untuk menjauhkan diri dari kungkungan dominatif. Di tengah kepungan kapital yang semakin buas dalam mengomodifikasikan waktu dan aktivitas manusia seperti sekarang ini, maka anak-anak harus bebas. Mereka harus bermain atas imajinasi sendiri, bukan kontrol dari impian orang-orang dewasa yang dipenuhi ‘simbol’ atau ‘imaji’ manipulatif hasil rekayasa korporat. 

Karena itu, sesungguhnya bermain bukan merupakan pertanda kemalasan. Bermain bukan merupakan hal yang sepele dan tidak bermanfaat. Justru ia menciptakan produktivitas tersendiri, yang mungkin takkan pernah selaras dengan sudut pandang akumulasi profit. Sebab ia memaksimalkan waktu luang dan melawan belenggu keterasingan. Bermain juga memiliki esensi untuk mengaktualisasikan ekspresi dan hasrat dalam diri individu, yaitu apa yang disebut sebagai kebebasan, kesenangan dan kepuasan. Tak seharusnya anak-anak dilarang bermain, apalagi keluar rumah. 

Namun, semua ini bukannya tanpa hambatan. Masa sekarang adalah sebuah persaingan, perputaran, kompetisi dan pemenuhan artifisial. Sehingga anak-anak harus segera dipelonco agar dapat memasuki dunia baru yang sesungguhnya belum waktunya, sebab bukan pada tempatnya. 

Ernest Hemmingway pernah mengemukakan adanya kekeliruan besar mengenai kebijaksanaan orang tua, sebab sesungguhnya mereka tidaklah bertambah bijaksana, melainkan bertambah hati-hati. Tak heran jika Antoine de Saint-Exupery melalui “The Little Prince”-nya juga berupaya menggugat dan mengadili perilaku orang dewasa yang seakan-akan tampil arif dan mulia di hadapan anak-anak, pasalnya si orang tua merasa telah meluangkan banyak pengorbanan demi kemajuan sang anak. Padahal? Ada banyak kesalahan yang perlu dikoreksi ulang. 

Kapitalisme telah berhasil merasuki setiap sendi keseharian manusia, tak luput anak-anak. Mereka digembalakan oleh selera pasar, orang-orang dewasa yang memiliki pengaruh dan otoritas terhadapnya, para pelaku industri, selebritas, termasuk para pengajar serta orang tua mereka sendiri. Kapitalisme telah menyusup ke dalam banyak rupa, melalui tokoh-tokoh animasi Disney hingga sihir Harry Potter. 

Di dalam Alkitab, ada sebuah istilah yaitu “Leviathan”, digambarkan sebagai sesosok monster laut raksasa. Thomas Hobbes pernah mengilustrasikan Leviathan sebagai fenomena dimana negara menjadi ekspresi terluhur dari kekuatan yang demikian agung. Keduanya menyajikan interpretasi yang begitu menakutkan. Di lain pihak, istilah Leviathan juga dipakai oleh Fredy Perlman untuk menggambarkan “peradaban” (dalam bukunya “Against His-story, Against Leviathan), dalam artian sesuatu yang memiliki kekuatan dahsyat dan cenderung destruktif. 

Jadi, bagaimana jika Leviathan yang kita hadapi sekarang tidak memiliki raut muka yang ganas, alih-alih bertanduk ia malah memiliki rambut yang menawan, alih-alih kejam ia justru tampil dengan sosok lucu nan rupawan dengan sikap bak pahlawan hingga mampu membius kepolosan anak-anak. 

Lalu, bagaimana kita dapat mengenalinya? 

Secepatnya kita harus segera membuka mata, karena sudah semakin jelas bahwa sekarang anak-anak kita ‘dibesarkan’ oleh perusahaan.

— anak-anak, kencangkan sabuk pengaman,
karena perlombaan telah dimulai lebih cepat! 

0 komentar:

Posting Komentar