I
dimana langit sesak dengan irama musik
tanpa dawai dan jemari yang memetik
kedamaian dan perih rasa sakit
mendapati eksistensinya di tiap jiwa jiwa yang menyala
suka duka berbaur bersama
sirna bersama gelora gerimis menebar dingin
dan ruang ruang hampa
kembali terisi oleh isak tangis rengekan gelak tawa
saat aroma matahari tertiup bersama angin
mengebiri jantung jantung keserakahan
dan memenjarakan pengkhianatan riwayat peradaban
yang akan menjelma menjadi histori kemenangan
II
mendung penyesalan
mendapati dirinya sendiri teronggok busuk di liang penghakiman
dan menuai badai kehancuran
ketika lentera dimensi hati
menemukan makna renungan di sela persetubuhan
yang merayap dan membasahi getar nyali
dengan mani mani gairah imajinasi
dan disanalah putus asa hanya akan berbaris serupa nisan usang
mati tercampakkan
karena tiap raga yang bernyawa
tak lagi perlu diziarahi tamu tamu yang bernama kekalahan
III
siang dan malam serasa satu
dan tiap pintu pintu rela terbuka untuk pengelana yang tersesat
membuang dan mengubur sunyi sendiri
masing masing menepi ke dalam tidur berselimut birahi
tak ada lagi berisik ratapan
yang menggoda amarah atau ciprat genangan darah
di setiap pinggiran jalan
atau di tikungan kelam pojokan perempatan
yang menggantung harapan
dan menghanguskannya dengan letup kebencian
IV
congkak air mata akan menghapus kesedihannya sendiri
menelan hembusan napas riang
dan tak lagi mengisyaratkan perih yang meradang
dimana kita tak perlu lagi berilusi
karena imaji telah menemukan iluminasinya sendiri
tak ada lagi yang serasa pasrah serasa mati
semua hidup semua bermimpi!
Malang. 8 Juni 2009
dimana langit sesak dengan irama musik
tanpa dawai dan jemari yang memetik
kedamaian dan perih rasa sakit
mendapati eksistensinya di tiap jiwa jiwa yang menyala
suka duka berbaur bersama
sirna bersama gelora gerimis menebar dingin
dan ruang ruang hampa
kembali terisi oleh isak tangis rengekan gelak tawa
saat aroma matahari tertiup bersama angin
mengebiri jantung jantung keserakahan
dan memenjarakan pengkhianatan riwayat peradaban
yang akan menjelma menjadi histori kemenangan
II
mendung penyesalan
mendapati dirinya sendiri teronggok busuk di liang penghakiman
dan menuai badai kehancuran
ketika lentera dimensi hati
menemukan makna renungan di sela persetubuhan
yang merayap dan membasahi getar nyali
dengan mani mani gairah imajinasi
dan disanalah putus asa hanya akan berbaris serupa nisan usang
mati tercampakkan
karena tiap raga yang bernyawa
tak lagi perlu diziarahi tamu tamu yang bernama kekalahan
III
siang dan malam serasa satu
dan tiap pintu pintu rela terbuka untuk pengelana yang tersesat
membuang dan mengubur sunyi sendiri
masing masing menepi ke dalam tidur berselimut birahi
tak ada lagi berisik ratapan
yang menggoda amarah atau ciprat genangan darah
di setiap pinggiran jalan
atau di tikungan kelam pojokan perempatan
yang menggantung harapan
dan menghanguskannya dengan letup kebencian
IV
congkak air mata akan menghapus kesedihannya sendiri
menelan hembusan napas riang
dan tak lagi mengisyaratkan perih yang meradang
dimana kita tak perlu lagi berilusi
karena imaji telah menemukan iluminasinya sendiri
tak ada lagi yang serasa pasrah serasa mati
semua hidup semua bermimpi!
Malang. 8 Juni 2009
0 komentar:
Posting Komentar