Prosa Anatomia Merdeka.

              - mata -

tak sekejap aku menerawang kehidupan
disana aku mengukir kenangan indah ataupun kelam
disana juga aku merekam masa depan
yang berputar pelan, teratur dan bersambung perlahan
meremukkan memilin dan memelintir episode cinta dan gairah
kujamah tiap helai peluh yang semakin memerah
aku menatap kesedihan dan kebahagiaan
keduanya sulit untuk kuabaikan
aku melihatnya
senja indah yang terpuruk manja di sela kekalahan jiwa yang memberontak
dan mengingatkanku pada sekejap jejak
yang pernah aku tengok pada mimpi mimpi yang menari
ketika malam ketika aku terkapar
disana aku melihatnya!

              - telinga -

telah tergores sejuta sakit yang aku terima
ketika fitnah kudengar ketika ancaman membakar
dan melanda kekosongan asa yang menjemput reaksi dengan amarah
terngiang ngiang ujung gendangku menggelepar
aku mendengarnya
tangisan yang mengisak di sela kepongahan
diantara runtuhan kezaliman
berharap mendengar desah lembut nafas senggama yang mendebarkan
sinyalku malah menerima teriakan teriakan putus asa
dari mereka yang menganggap dunia ini serasa neraka
bukan karena derai kemisikinan, itu sudah biasa
tapi kebejatan dan kemunafikan sang pangeran pangeran kenegaraan
kemana aku harus mengistirahatkan lelah ini
kemana aku harus memutar nada kehidupan
yang merdu yang melankolis dan tidak membuatku meringis miris
sebab aku tidak tuli
aku mendengarnya!

              - mulut -

disinilah kita berperang melawan kebungkaman
menghunjam ketakutan ketakutan yang bersahutan
merupa kata menjadi senjata
disinilah kita merangkai prosa, mengurai sajak, meneriakkan kegelisahan
menjadi helai helai kehidupan yang kelak menatap arah
agar tak terjebak dalam pilihan suram
atau tersesat karam menuju kebimbangan atau kebingungan atau hanya diam
kau tidak akan pernah lagi mendengar rintihan manja
disini hanya akan ditentukan oleh dua kata
ya atau tidak
karena sesungguhnya masa depan belum tertulis kawan
di ujung lidah kita tersembunyi kemewahan
rajuk manja, desah rintih, teriak pasrah, sumpah serapah atau senandung keindahan
bahkan umpatan umpatan kotor yang mengasyikkan
aku memakimu toh aku berhak
karena aku bicara!

              - tangan -

aku membunuhmu
dengan genggamanku yang mengepal
karena lelah mendengar kebohongan
jabat ini hanya untuk kawan yang tahu arti persahabatan
perdamaian dan harmoni perbedaan
karena disana aku mampu meraba
aku menjamah
perlahan namun kurasakan dengan dalam
lembut kasar urat urat kolase rutinitas harian
aku menggambar
inilah kanvas yang kurindukan
akan kulukis dan kutumpahkan tinta tinta merah yang gemerlap dan bercucuran
lompatan lompatan warna yang meneriakkan keceriaan
saling menggandeng bukan menuding dan meradang
disini aku memegang kuasa
yang akan kubawa melintasi sahara kehidupan
disini aku akan menantang
di antara getar getar kesunyian yang beraroma pengkhianatan
aku bukan kekalahan
aku adalah kepalan dan calon kemenangan
karena aku menggenggam!

              - kaki -

jejak jejakku menggores tiap jengkal kekosongan
ketika aku merayap di atas tanah penggusuran
melihat wajah wajah menyebalkan berseragam dengan seringai busuknya
rasanya aku ingin menyepak wajahnya yang buruk rupa
aku melangkah disana
menyeret pelan tiap detik yang kulalui
terkadang bimbang kemana aku harus mengarah
aku terlalu lelah
membawa beban hariku ini dipanggul oleh kebodohan
tiada henti berharap mati
aku terlalu lelah
berjalan diantara kemunafikan
keserakahan, kebencian, kekejaman atau keributan
dan berjuta kata kata yang memberi makna
bahwa segalanya adalah cerita tentang ajang menabur peperangan
aku tahu
karena itu aku menolak untuk berhenti
sebab diantara pasak pasak yang terpancang
Bendera bendera sombong yang berkibar di pojok tiang keangkuhan
membelah pecah bumiku dan tanah kebebasanku
disanalah aku melangkah!

              o hamba o paduka
              yang ku harap lekas mati

              kita tak akan mengerti
              seberapa jauh raga ini memeluk ruang ruang kehidupan
              menganga dalam dendam
              atau selalu siap menjemput kemenangan
              juga kekalahan yang menunggu kita untuk menyerah
              diam dalam kebekuan penyesalan

              seorang yang bernyawa
              selalu membangun dinding dinding perlindungan
              bersama hasrat
              karunia dan pesona mereka
              disanalah kita akan menyadari
              bahwa hakikat kehidupan
              menjalari tiap anatomi tubuh yang kita punya

              karena kita
              manusia merdeka!


Malang. 9 Juni 2009

0 komentar:

Posting Komentar